Menurut Ilham, saat ini KPU sudah melaksanakan dua tahapan Pilkada Serentak 2020, yakni verifikasi calon perseorangan, serta pencocokan dan penelitian (coklit) oleh petugas pemutakhiran data pemilih (PPDP).
Ia menjelaskan perekrutan PPDP juga sudah sesuai prosedur, termasuk mengikuti rapid test terlebih dahulu sebelum terjun ke lapangan. Demikian juga terhadap PPS dan PPK.
"Jadi, kalau bicara soal tunda-tunda, kami sudah jalan hampir sebulan lebih. Jadi, menurut saya, yang dulu sudahlah, sekarang sudah berjalan prosesnya," kata Ilham dalam diskusi "Menghitung Kualitas Pilkada Saat Pandemi" yang disiarkan secara virtual, Sabtu (25/7).
Ia menjelaskan sebenarnya KPU membuat opsi penyelenggaraan Pilkada Serentak pada Desember 2020, Maret, Agustus, atau September 2021.
Dari semua opsi itu, kata dia, KPU lebih suka September 2021.
Namun, lanjut dia, pemerintah menerbitkan Perppu tentang Pilkada.
Hingga akhirnya pemerintah dan DPR sepakat memutuskan Pilkada Serentak 2020 digelar Desember 2020.
Meski demikian, lanjut Ilham, ada syarat-syarat yang disampaikan KPU kepada pemerintah maupun DPR yang memutuskan pilkada digelar Desember 2020.
Yakni untuk pengadaan alat pelindung diri (APD).
Terlebih lagi, Gugus Tugas Percepatan Penanganan Covid-19 sudah membalas surat KPU dengan menyatakan silakan saja digelar tetapi dengan protokol kesehatan yang ketat.
Dia menjelaskan KPU tidak punya kewenangan memastikan sudah sejauh mana perkembangan Covid-19.
"Namun, melihat kondisi saat ini dan beberapa tempat yang akan gelar pilkada masih zona merah, walaupun perlakuan kami tidak berdasar zona merah, oranye, tetapi sama semua, kami minta syarat ada pengadaan APD bagi petugas kami," ujar Ilham.
Menurut Ihlam, dalam naskah hibah perjanjian daerah (NPHD) tidak mengganggarkan untuk membeli APD.
Sebab, perencanaan anggaran dilakukan sebelum 2020. Ada pula yang sebagian disahkan pada awal 2020.
Menurut Ilham, sebelum pandemi Covid-19 juga ditemukan masalah dalam penyusunan NPHD. Dia mencontohkan beberapa kabupaten di Sumatera.
Ilham merasa heran karena banyak pemda tidak sanggup untuk menganggarkan pilkada yang merupakan agenda nasional ini.
"Pilkada ini kan agenda nasional, lima tahun sekali, tetapi perencanaannya seperti seakan-akan enggan untuk kemudian mengganggarkan unruk penyelenggaraan pilkada," jelas Ilham.
Namun, Ilham menambahkan sekarang semua sudah berjalan. Sebanyak 206 dari 270 daerah yang menggelar pilkada, anggarannya sudah ditransfer 100 persen.
Sisanya masih ada berbagai persoalan. Misalnya, di salah satu kabupaten di Sumatera masih ada DPRD-nya berupaya memotong anggaran untuk pilkada.
"Padahal NPHD sudah disepakati jumlahya. ini kan jadi persoalan sebetulnya," katanya.
Dia menjelaskan konsekuensinya adalah banyak terjadi pada persoalan honorarium badan ad hoc.
"Ketika honor tidak bisa dibayarkan, ya susah, tidak bisa jalan," ungkapnya. (*)