GELORA.CO -Mundurnya PP Muhammadiyah dan Nahdlatul Ulama (NU) dari Program Organisasi Penggerak (POP) Kemendikbud terus menuai reaksi yang berujung kritik kepada Mendikbud Nadiem Makarim.
Koordinator Wilyah Forum Komunikasi Alumni Ikatan Mahasiswa Muhammadiyah (Korwil FOKAL IMM) Provinsi Bengkulu, Rahiman Dani secara tegas meminta agar Presiden Jokowi segera mengevaluasi jabatan Nadiem dari Kemendikbud.
"Soal mundurnya NU dan Muhammadiyah dari organisasi penggerak itu hanya puncak dari gunung es dari seluruh bentuk kebijakan Nadiem yang sampai dengan hari ini tidak memberi dampak apa-apa pada dunia pendidikan di Indonesia," tegas Rahiman Dani dalam keterangannya, Sabtu (25/7).
"Pendidikan adalah soal filosofi bangsa, masa depan bangsa ini, tak bisa diurus hanya dengan modal kebijakan popular tapi miskin sejarah. Saya pikir saatnya Presiden review jabatan Mendikbud, copot saja," imbuhnya.
Pengajar Magister Ilmu Administrasi Publik, FISIP Unihaz Bengkulu ini menilai, kemarahan Muhammadiyah dan NU dengan cara mundur dari program Kemdikbud adalah presiden buruk untuk kelangsungan pendidikan di Indonesia.
Sebab, kata dia, pendidikan merupakan pusat literasi kemerdekaan sekaligus pemantik lahirnya bangsa ini.
"Kita tahu Muhammadiyah dengan sekolahnya demikian pula NU dengan pendidikan pesantrennya adalah pusat literasi kemerdekaan bangsa ini. Tanpa kedua organisasi ini mungkin Indonesia hari ini tidak ada," tuturnya.
Rahiman menambahkan, NU sudah mendirikan ribuan pesantren, Muhammadiyah pun demikian dengan ribuan sekolah sekolah-sekolah formal didirikan sampai ke pelosok negeri jauh sebelum yang lain koar-koar soal pendidikan.
"Dengan apa mereka berdiri? dengan niat tulus ikhlas, keringat, darah bahkan airmata, konsistensi tanpa pamrih demi mencerdaskan anak bangsa," ucapnya.
Rahiman mengaku tidak berniat mengesampingkan organisasi lain. Namun menurutnya, ada 'tinta emas sejarah' yang tidak boleh dilupakan oleh siapa pun dalam mengurusi pendidikan di Indonesia
Sebagai kader muhammadiyah, lanjut Rahiman, sifat terbuka dengan perkembangan zaman namun tidak boleh lengah dengan sedikit pun. Dia menyambut baik sekaligus bersyukur dengan hadirnya teman-teman organisasi lain yang berniat membantu dunia pendidikan kita.
"Namun, kalaulah berkaitan dengan sistem bernegara harus clear syarat dan ketentuan tidak bisa bar-bar. Konsistensi adalah kunci utama tidak boleh insidentil apalagi parsial," jelasnya
Lebih lanjut, Rahiman menyatakan, iklim pendidikan di Indonesia berbeda jauh dengan pendidikan ala barat yang mana di Kementerian Pendidikan saat banyak diisi oleh staf-staf khusus yang berlatar belakang pendidikan high class.
“Saya apresiasi program ini (POP) karena upaya pemerintah dalam meningkatkan kompetensi guru, wawasan tanaga pendidik yang berbasis tekenologi informasi. Namun, yang perlu dicatat ada sekolah-sekolah beralas tanah, berdinding kayu yang jauh dari dukungan infrastruktur apalagi internet," ujarnya.
"Nah disini guru-guru muhammadiyah hadir denga keikhlasan bukan pamrih. Kondisi ini tidak bisa dipahami oleh orang-orang yang dari awal mengenyam pendidikan high class," imbuh dia.
Atas dasar itu, Rahiman menyarankan kepada Nadiem untuk tabayyun dengan mundurya kedua organisasi Islam terbesar dan bersejarah di Indonesia itu. Sebab, program pembangunan pendidikan akan berjalan dengan baik jika tujuan konstitusi yang mengamanatkan agar anak bangsa cerdas dapat terwujud.
Saran saya tabayun, PGRI juga sudah mundur artinya ada yang salah? kalau nggak mau mundur, ya presiden copot saja karena akan membahayakan kalau terus-terusan seperti ini. Belum lagi soal pembelajaran di tengah Covid-19, tidak ada kebijakan yang dihadirkan mendikbud," demikian Rahiman. (Rmol)