UU “No Ban Act” dibatalkan deengan 233 suara mendukung dan 183 menentang, dalam pemilihan Rabu (22/7). Namun, meskipun RUU tersebut lolos di DPR yang dikendalikan partai Demokrat, RUU itu masih harus menghadapi pengesahan di Senat, yang diketahui dikendalikan oleh Partai Republik, pendukung Trump.
Dan bahkan jika RUU itu lolos dari Senat, masih harus melalui meja presiden untuk ditandatangani. Trump dipastikan akan memveto, memaksa Kongres dan anggota senat untuk memilih lagi dalam upaya untuk menyetujuinya.
“Ahli keamanan nasional menjelaskan bahwa UU ‘larangan Muslim’ membuat negara kita kurang aman,” kata anggota Kongres Debbie Dingell, yang mewakili Distrik 12 Michigan, dengan populasi Arab Amerika terbesar di negara itu. “Faktanya, kebijakan keamanan nasional yang kuat termasuk melindungi pilar fundamental demokrasi kita, kebebasan beragama, kebebasan berbicara, belas kasih dan keadilan,” tambahnya.
“Kita harus berdiri bersama sebagai orang Amerika untuk melindungi nilai-nilai dan cita-cita yang membuat bangsa ini hebat,” pungkas Dingell, yang dilansir Arab News.
The No Ban Act, akronim dari National Origin-Based Antidiscrimination for Nonimmigrants Act, diperkenalkan pada April 2019 oleh Senator Delaware, Chris Coons, dan Perwakilan California Judy Chu. Trump mengeluarkan perintah eksekutifnya, berjudul “Melindungi Bangsa dari Masuknya Teroris Asing ke Amerika Serikat” pada Januari 2017.
Perintah itu, yang direvisi beberapa kali, menargetkan pengunjung dari negara-negara mayoritas Muslim Iran, Libya, Somalia, Suriah dan Yaman, bersama dengan para pelancong dari negara-negara non-Muslim tertentu, termasuk Korea Utara, dan beberapa pejabat pemerintah dari Venezuela. Trump memperluas larangan untuk memasukkan negara lain, termasuk Nigeria, Sudan, dan Myanmar
Beberapa pengadilan mendapati perintah itu tidak konstitusional. Namun, Mahkamah Agung AS memutuskan pada Juni 2018 bahwa itu berada dalam kekuasaan konstitusional presiden. Adopsi UU Tanpa Larangan akan mengesampingkan keputusan Mahkamah Agung ini.
Meskipun ada kemungkinan tipis dari RUU ini untuk melangkah lebih jauh, persetujuan DPR ini dielu-elukan oleh organisasi Arab dan Muslim sebagai langkah untuk mencegah undang-undang diskriminatif diberlakukan oleh administrasi Gedung Putih di masa depan.
Ini juga menempatkan diskriminasi anti-Muslim menjadi isu utama dalam pemilihan presiden mendatang. Joe Biden, yang kemungkinan akan menjadi pilihan partai Demokrat untuk menantang Trump pada November, mengecam larangan tersebut dan mengatakan bahwa, jika terpilih, ia akan mencabut perintah eksekutif itu di hari pertama ia menjabat.
Wa’el Alzayat, CEO Emgage Action, organisasi advokasi Muslim di Washington DC, mengatakan penegsahan undang-undang itu akan mengakhiri diskriminasi administrasi Trump terhadap Muslim.
“Hari ini, kami selangkah lebih dekat untuk memastikan bahwa tidak ada warga negara yang tidak sah, tidak disukai, atau dilarang,” katanya. “Larangan Muslim, dalam semua iterasinya, benar-benar bertentangan dengan nilai-nilai Amerika kita tentang keragaman, inklusi, dan kebebasan serta keadilan bagi semua. Keberadaannya yang memalukan akan selamanya menjadi bagian gelap yang tak terbantahkan dari sejarah kita, kata Alzayat.
“Sekarang, kami mendesak Senat untuk meloloskan Undang-Undang “No Ban” agar kita dapat mengakhiri pelarangan kemanusiaan yang kejam ini, sekali untuk selamanya,” tambah Wa’el.
Sementara itu, Farhana Khera, Direktur Eksekutif Advokat Muslim, mengatakan bahwa untuk pertama kalinya, Kongres meloloskan RUU hak-hak sipil Muslim. Para aktivis mengunjungi kantor-ke-kantor dan distrik-ke-distrik untuk mendapatkan dukungan untuk UU Larangan dan meyakinkan para pemimpin DPR untuk menjadikannya prioritas.
“Tapi yang paling penting, pemungutan suara ini menandai awal dari akhir larangan Muslim, kebijakan kejam yang terus menghancurkan keluarga. Sekarang kita harus bertarung ke Senat, di mana kita menolak untuk berhenti berjuang sampai setiap senator mendengar dari kita dan RUU itu sampai di meja presiden,” kata Khera.
Beberapa kelompok mempertanyakan bagian dari rancangan undang-undang yang mereka yakini tidak konstitusional dan sesat, tetapi menyambut baik undang-undang tersebut secara keseluruhan.
“Sejak menjabat pada 2017, administrasi Trump terus menargetkan imigran dan komunitas kulit berwarna. Terlepas dari pengakuan bahwa kekerasan supremasi kulit putih adalah masalah serius, pemerintah terus fokus pada penindasan hak-hak minoritas dan komunitas imigran. kata juru bicara Komite Anti-Diskriminasi Arab Amerika.
“Agenda keimigrasian xenofobik dari administrasi ditingkatkan awal tahun ini ketika negara-negara tambahan, terutama di Afrika, ditambahkan ke larangan Muslim.”
Pendukung tatanan eksekutif Trump menunjukkan bahwa dari 50 negara dengan populasi mayoritas Muslim, sebagian besar tidak terpengaruh oleh pembatasan memasuki AS. (*)