GELORA.CO - Persentase kematian pasien positif di Jawa Timur ternyata lebih tinggi dibanding rata-rata dunia. "Persentase kematian pasien COVID-19 yang meninggal dunia di luar negeri itu, antara 3 hingga 5 persen, dari total jumlah pasien positif," kata Ketua Tim Pelacakan Pencegahan dan Penanggulangan Coronavirus Disease 2019 (COVID-19) Jawa Timur Dr Kohar Hari Santoso, Jumat (11/7). Sedangkan di Indonesia, khususnya di Jawa Timur, persentase angka kematian pasien yang positif terpapar COVID-19 antara antara 15 hingga 40 persen lebih.
Jika daya tahan tubuh menurun, maka virus yang ada dalam tubuh orang yang terpapar corona akan lebih cepat bekerja.
"Kabupaten Pamekasan ini termasuk kabupaten dengan persentase angka kematian pasien positif yang tinggi," katanya.
Berdasarkan data Tim Gugus Tugas Percepatan Penanganan COVID-19 Pemprov Jatim, persentase kematian pasien terpapar COVID-19 sebesar 15,58 persen.
Pasien terbanyak yang meninggal dunia berusia lanjut, yakni antara umur 60 hingga 69 tahun.
Selain tingginya angka kematian pasien positif COVID-19, angka kematian pasien dalam pengawasan (PDP) juga sangat tinggi dan tersebar di 38 kabupaten/kota di Jawa Timur.
Tiga kabupaten/kota terbanyak persentase angka kematian pasien dalam pengawasan adalah Kabupaten Bangkalan, lalu Kabupaten Sumenep dan yang ketiga adalah Kota Mojokerto.
Persentase angka kematian PDP di Bangkalan 48 persen, Sumenep 43 persen dan Kota Mojokerto 39 persen.
"Yang paling sedikit sesuai dengan data tim adalah Kabupaten Bondowoso, Kota Surabaya dan Kabupaten Sampang. Ini untuk PDP, ya, bukan yang positif corona," ujar Hari.
Direktur Rumah Sakit Saiful Anwar Malang ini meminta agar masyarakat lebih hati-hati dalam berupaya melakukan pencegahan.
"Pencegahan ini bisa dilakukan secara primer, sekunder dan tersier," kata Hari.
Yang dimaksud dengan pencegahan primer adalah upaya pencegahan yang harus dilakukan agar tidak tertular virus corona, yakni dengan menerapkan protokol kesehatan secara ketat.
Pencegahan sekunder adalah upaya pencegahan yang harus dilakukan agar tidak menjadi sakit, yakni dengan cara terus berupaya meningkatkan imun tubuh dan membentuk masyarakat tangguh.
Sementara pada pencegahan tersier, menurut dia, agar warga yang telah terpapar COVID-19 tidak fatal, sehingga menyebabkan yang bersangkutan meninggal dunia.
"Caranya tentu dengan memperhatikan kapasitas dan daya tampung rumah sakit, termasuk kualitas pelayanan," katanya.
Penjelasan versi IDI
Ketua Satgas Covid-19 Ikatan Dokter Indonesia (IDI) Jawa Timur Achmad C. Romdhoni mengungkapkan sejumlah kendala yang menyebabkan kasus virus corona di Jawa Timur masih tinggi. Berdasarkan data 10 Juli 2020, jumlah kasus corona di Jatim mencapai 15.484 kasus. Tertinggi tingkat nasional.
"Permasalahannya ada di hulu. Apabila hulu tidak tergarap dengan baik, maka kasus di hilir menumpuk," ujar Achmad dalam webinar yang disiarkan via internet, Jumat (10/7).
"Saya jalan di Ampel itu enggak ada yang pakai masker. Jadi perlu kita sadarkan. Meski ini tidak mudah, mau tidak mau harus ada langkah tegas," ucap Achmad.
Kendala lain, lanjut Achmad, fasilitas alat tes polymerase chain reaction (PCR) yang minim dan mahal. Belum semua rumah sakit di Jatim memiliki fasilitas alat PCR. Selain itu, waktu tunggu hasil tes juga cukup lama. Akibatnya, penentuan kasus positif atau negatif menjadi terlambat. "Ada yang tiga hari, ada yang baru Sabtu-Minggu, ada juga yang 14 hari," katanya.
Idealnya, pengetesan dilakukan dengan jumlah 3.500 per 1 juta penduduk. Sementara jumlah pengetesan saat ini rata-rata masih di angka 2.000. Kendala lain adalah kekurangan ventilator dan tenaga yang terlatih mengoperasikan. "Sebesar RS dr Soetomo pun kesulitan," tuturnya.
Achmad juga menyoroti persoalan yang dihadapi ibu hamil. Di Surabaya tercatat ada 3.500 ibu hamil dan hampir 10 persen dari jumlah tersebut terpapar corona.
"Saat ini yang dilakukan RS terhadap penapisan bumil hanya pakai rapid. Padahal rapid tidak berguna kata WHO. RS bersalin khusus Covid perlu dipikirkan," jelasnya.[tsc]