Rudi Handoko, warga Keluraha Garum, Kecamatan Garum, Kabupaten Blitar menceritakan, ayah mertuanya bernama Abdul Aziz (57), sudah lama menderita sakit stroke. Sebelum meninggal, penyakit Abdul Aziz sempat kambuh.
“Bapak diduga stroke ketiga. Kambuh pada Kamis (9/7). Kami berinisiatif membawa bapak ke rumah sakit swasta. Jam 1 pagi atau Jumat (10/7). Pada jam 3 pagi bapak sudah dinyatakan meninggal. Saat bapak hanya sampai di ruang UGD,” cerita Rudi kepada Kantor Berita RMOLJatim, Rabu (22/7).
Rudi mengatakan, saat itu pihak rumah sakit meminta pelunasan pembayaran administrasi sebesar Rp 8,7 juta. Pihak keluarga pun kaget dengan uang sebesar itu. Saat ditanya, pihak rumah sakit menjelaskan bahwa jenazah Abdul Aziz harus dimakamkan secara protokoler Covid-19.
“Kami diminta membayar Rp 8,7 juta. Sebelum membayar saya sempat tanya bapaknya sakit apa, kok harus menggunakan protokoler corona. Mereka bilang kalau hasil test rapid bapak reaktif. Karena itu harus menggunakan protokoler Covid-19,” terang Rudi.
Rudi sebenarnya tidak sepakat dengan pihak rumah sakit. Sebab ayah mertuanya selama ini tidak pernah kemana-mana.
“Bapak saya kesehariannya hanya di rumah, masjid dan sawah. Kalau sampai kena corona kok rasanya mustahil. Kalau memang hasil rapid dinyatakan reaktif sebenarnya itu wajar. Sebab semua orang yang sakit kalau ditest rapid pasti hasilnya reaktif. Namun pihak rumah sakit bersikukuh menangani pasien dengan cara protokoler Covid-19. Ada sedikit unsur paksaan,” kenang Rudi.
Pihak rumah sakit menjelaskan, biaya sebesar Rp 8,7 juta digunakan untuk biaya test Covid-19 (rapid dan swab), rawat jalan dan pemulasara jenazah. Biaya itu harus dibayar tunai.
“Saya diminta membayar cash. Padahal saya hanya bawa duit Rp 2 juta saja. Akhirnya saya pulang mencari pinjaman. Padahal itu sudah subuh, mau mencari uang dimana. Bank saja masih tutup. Setelah pontang panting cari pinjaman, besoknya saya kembali ke rumah sakit untuk melunasi,” tutur Rudi.
Usai pembayaran, jenazah Abdul Aziz langsung dimakamkan secara protokoler Covid-19. Ia melanjutkan, saat proses pemakaman, jenazah ayah mertuanya dikawal ketat oleh aparat kepolisian hingga TNI.
Para tugas medis menggunakan APD saat membawa jenazah Abdul Aziz dengan menggunakan peti dari triplek. “Semua dijaga ketat. Orang-orang dilarang melayat,” tambahnya.
Besoknya, Rudi dan keluarga didatangi petugas medis setempat dan diminta untuk melakukan karantina mandiri selama 14 hari. Pasalnya, Abdul Aziz sempat dinyatakan meninggal karena Covid-19. Sehingga untuk menjaga agar tidak terjadi penularan, maka pihak keluarga harus melakukan isolasi.
“Mereka bilang selama karantina semua kebutuhan ditanggung. Selama 7 hari karantina kami sekeluarga enam orang diminta melakukan rapid test di puskemas. Hasilnya semua nonreaktif,” ujar Rudi.
Usai menjalani rapid, Rudi disuruh petugas puskesmas untuk mengambil hasil swab test Abdul Aziz di rumah sakit.
“Alhamdulillah, almarhum ternyata hasilnya negatif,” jelasnya.
Di rumah sakit, Rudi mempertanyakan biaya protokoler Covid-19 yang mencapai Rp 8,7 juta dan berniat untuk dikembalikan. Sebab ayah mertuanya dinyatakan negatif berdasarkan hasil swab test.
“Namun pihak rumah sakit bilang bahwa biaya itu nanti akan dikonfirmasi dulu ke Kementerian Kesehatan dan akan diganti,” tandasnya.
Atas kejadian ini, Rudi menduga ada kesan tidak serius dalam menangani pasien, terutama pasien umum.
“Kesannya terburu-buru dalam mendiagnosa pasien. Kok pihak rumah sakit menyatakan meninggal karena penyakit menular. Tapi tidak menjelaskan penyakit menular seperti apa,” urai Rudi.
Karena itu Rudi mendesak pihak rumah sakit untuk memulihkan nama keluarganya. Sebab, sejak Abdul Aziz diisukan corona, dampaknya menimpa keluarga lantaran dikucilkan oleh masyarakat. Padahal seperti diketahui, Abdul Aziz sendiri dinyatakan hasilnya negatif corona.
“Selama karantina kami dikucilkan warga. Selama itu kami juga tidak mendapatkan apa-apa. Katanya ada bantuan, ternyata sama sekali tidak ada. Kami tidak pernah didatangi pemerintah, tidak pernah dicek kesehatan, tidak pernah diperiksa,” keluh Rudi.
Rudi meminta pihak-pihak terkait agar bijak dalam membuat aturan protokol kesehatan. Kalau asal-asalan seperti itu, yang dirugikan masyarakat.
“Kami berharap agar pemerintah melek dengan kejadian ini. Kalau sampai semua pasien yang sakit dinyatakan Covid-19 dan pihak keluarga yang menanggung akibatnya, terus langkah pemerintah seperti apa. Apakah kalau kami dikarantina, ada bantuan dari pemerintah. Kalau karantina adakah yang memberi makan ternak kami. Mereka tidak mikir sampai situ,” kritik Rudi. (*)