GELORA.CO - Sepak terjang para tersangka korupsi mengelabui hukum tidak mungkin terjadi tanpa adanya bantuan dari aparat penegak hukum sendiri. Ini sekali lagi terbukti dalam kisah melenggangnya Djoko Sugiarto Tjandra di Indonesia. Meski berstatus buron, terpidana kasus cessie (hak tagih) Bank Bali senilai Rp546 miliar itu sangat lincah bermanuver. Ia begitu bebas menerobos pintu imigrasi, lantas mengurus KTP untuk selanjutnya mendaftarkan Peninjauan Kembali (PK) di Pengadilan Negeri (PN) Jakarta Selatan tanggal 8 Juni silam.
Semua orang terperangah. Masyarakat awam, pejabat Kementerian Hukum dan HAM, petinggi Kejaksaan Agung, hanya bisa geleng-geleng kepala, setengah tak percaya dengan mudahnya dikelabui oleh seorang lelaki renta berusia 70 tahun.
Seharusnya setelah kemunculan sang taipan pemilik Grup Mulia di PN Jakarta Selatan, aparat keamanan bisa dengan mudah menciduknya. Sesuai Surat Edaran Mahkamah Agung No. 1/2012, ia harus hadir sendiri di persidangan yang ditetapkan pada 29 Juni. Namun dengan alasan sakit, ia tak datang ke persidangan. Majelis hakim lalu menjadwal ulang sidang tanggal 6 Juli. Nah, logikanya ia dengan mudah dijemput petugas di rumahnya, sesuai KTP beralamat di Jalan Simprug Golf I nomer 89, Kelurahan Grogol Selatan, Kebayoran Lama, Jakarta.
Terlepas dari apakah aparat hukum sempat berupaya menangkap Djoko di rumahnya atau tidak, sang buron lebih lincah bergerak. Diam-diam, dia sendiri atau mungkin juga mengutus seseorang untuk berkunjung ke Biro Koordinasi dan Pengawasan PPNS di Bareskrim Polri. Dari Biro itu ia berhasil mengantungi surat jalan bernomor SJ/82/VI/2020/Rokorwas tertanggal 18 Juni 2020. Surat itu ditandatangani oleh Kepala Biro Koordinasi dan Pengawasan PPNS Bareskrim Polri Brigjen Prasetyo Utomo.
Dalam dokumen surat jalan itu, tertulis Joko Soegiarto Tjandra disebut sebagai konsultan. Dalam surat itu, pria kelahiran Sanggau, Kalimantan Barat,disebut melakukan perjalanan dari Jakarta ke Pontianak dengan pesawat terbang untuk keperluan konsultasi dan koordinasi.
Gila, memang. Saat semua perhatian tertuju terhadap pencarian Djoko, saat pejabat tinggi negara bidang hukum kebakaran jenggot, bisa-bisanya, Brigjen Prasetyo menerbitkan surat jalan tersebut. Sangat pantas jika ia lantas ditahan selama 14 hari di sel khusus Divisi Provost. "Sesuai komitmen Kapolri, kami proses, kami periksa. Tentunya kami akan memberlakukan azas praduga tak bersalah untuk dimintai keterangan selengkap-lengkapnya berkaitan kasus surat jalan Djoko Tjandra," tutur Irjen Pol Raden Prabowo Argo Yuwono, Rabu (15/7).
Brigjen Prasetijo Utomo sendiri telah dicopot dari jabatannya sebagai Kepala Biro Koordinasi dan Pengawasan (Karo Korwas) PPNS Badan reserse dan Kriminal (Bareskrim) Polri. Pencopotan itu tertuang dalam Surat Telegram Rahasia (TR) Kapolri Jenderal Idham Azis bernomor ST/1980/VII/KEP./2020 per tanggal (15/7/2020) yang ditandatangani oleh As SDM Irjen Sutrisno Yudi Hermawan.
Dalam surat telegram itu, Brigjen Prasetijo dimutasikan ke bagian Yanma Polri. Menurut surat itu, dia dipindahkan dalam rangka proses pemeriksaan. Kisah Brigjen Prasetijo mengingatkan pada dua jenderal polisi yang berupaya mengambil keuntungan dalam penyidikan perkara pembobolan BNI Rp1,7 triliun tahun 2003. Dalam kasus yang melibatkan buronan Maria Pauline Lumowa yang baru saja berhasil dibawa ke Indonesia Kamis pekan lalu (9/7), terselip nama Kabareskrim Mabes Polri (2004-2005) Komjen Pol (Purn) Suyitno Landung dan Direktur II Ekonomi KhususBareskrim Polri Brigjen Pol (Purn) Samuel Ismoko.
“Dosa” Suyitno berupa upaya meloloskan Adrian Waworuntu, kolega Maria di PT Broccolin Internasional, dari penyidikan. Sedangkan Samuel Ismoko memerintahkan bawahannya, Komisaris Besar Irman Santosa agar tidak menyita seluruh aset milik Broccolin.
Pada 10 Oktober 2006, PN Jakarta Selatan memvonis Suyitno Landung dengan pidana penjara selama 1 tahun 6 bulan dan pidana denda Rp50 juta subsider 6 bulan kurungan. Suyitno dianggap terbukti menerima suap berupa mobil Nissan X-Trail Type ST (standar) seharga Rp247 juta. Suyitno telah bebas sejak 5 Juni 2007 setelah menjalani masa pidana.
Sementara itu Samuel Ismoko divonis PN Jakarta Selatan selama 1 tahun 8 bulan dan denda Rp50 juta subsider 1 bulan kurungan pada 26 September 2006. Ismoko menerima suap berupa travel cek Rp200 juta dari BNI dan travel cek Rp50 juta dari atasannya. Seluruh travel cek ini diberikan karena keberhasilan Ismoko melakukan penyidikan kasus Deposito On Call (DOC) BPD Bali pada BNI.
Berikutnya Ismoko juga menyetujui pencabutan blokir rekening PT Brocollin International dan menyetujui penjualan aset dalam bentuk tujuh buah sertifikat tanah di Cilincing, Jakarta Utara yang dilakukan oleh Jeffrey Baso selaku Direktur Utama PT Triranu Caraka Pacific. Total hasil penjualan aset itu sejumlah Rp6,3 miliar tapi hanya disetorkan Rp1 miliar ke BNI.
Dalam persidangan, Ismoko membantah dugaan penerimaan Rp15,5 miliar dari Adrian sebagaimana didakwakan dan dituntut JPU.
Perkara atas nama Ismoko sempat naik ke tahap banding di Pengadilan Tinggi DKI Jakarta. Majelis hakim banding mengurangi masa pidananya selama 5 bulan pada Januari 2007. Pada 8 Februari 2007, Ismoko resmi menghirup udara bebas.
Dicopot saat gencar memberantas pembalakan liar
Toh ada juga kisah jenderal polisi yang teguh menjaga integritasnya. Dia adalah Irjen Sutjiptadi. Saat menjabat sebagai Kapolda Riau tahun 2006 ia sangat gigih memberantas pembalakan liar (illegal logging). Dia sangat geram dengan pembalakan liar di Bumi Lancang Kuning yang gundul akibat ulah para cukong. Dalam sebuah seminar bertajuk “Pentingnya Penanganan Illegal Logging dan kepastian hukum” di Hotel Ibis Pekanbaru,September 2007, ia menegaskan dirinya bertanggung jawab melindungi hutan dan kerugian besar bagi masyarakat Indonesia. “Saya ditugaskan ke sini Lillahi ta’ala untuk selamatkan hutan Riau. Sedih hati saya melihat hutan Riau luluh lantak seperti sekarang ini. Akibat dari pembalakan liar, masyarakat yang harus menanggungnya,” ujarnya.
Langkahnya mendapat dukungan besar dari LSM seperti Walhi, masyarakat setempat, tokoh masyarakat Riau. Dari informasi yang digali hampir 1 tahun, akhirnya Sutjiptadi mendapat suatu korelasi antara penguasa serta para pengusaha dan cukong pembalakan liar. Dia menjadi Kapolda Riau pertama yang berani lantang berbicara bahwa pembalakan liar besar-besaran di Riau diduga melibatkanempat bupati dan Gubernur Rusli Zainal (2003-2008 dan 2008-2013).
Dugaan keterlibatan pejabat tinggi didasarkan dari fakta di lapangan bahwakecil kemungkinan pelaku pembalakan liar dalam skala besar berdiri sendiri. Singkat cerita, ia berhasil mengemas 47 kasus pembalakan liar dan memulai penyelidikan terhadap 12 kasus pembalakan liar kelas kakap. Harapan untuk memberantas pembalakkan liar sekaligus menghukum para pelakunya tidak mendapat dukungan yang berarti dari pemerintahan SBY-JK. Menteri Kehutanan MS Kaban yang namanya masuk dalam kasus penerbitan surat izin pembalakkan liar hutan Riau seluas 100 ribu hektare yang merugikan negara Rp 1.2 triliun, tidak terima.
Sutjiptadi mendadak dimutasi bersama petinggi Polri lain pada 2 Mei 2008. Belakangan, Rusli Zainal dijerat dua perkara sekaligus, yakni suap kehutanan dan korupsi proyek PON 2014. PN Riau menjatuhkan hukuman 14 tahun penjara dan denda Rp1 miliar, subsider 6 bulan penjara. Hak politiknya pun dicabut. Putusan ini dikuatkan MA. Namun ia mengajukan Peninjauan Kembali. Hakim agung yang mengadili mengabulkan upaya hukum luar biasa itu. Ia pun mendapat diskon hukuman sebanyak 4 tahun.
Akan halnya Sutjiptadi hanya sempat melaksanakan tugas di Riau selama 1 tahun 6 bulan. Sangat mungkin ia dilengserkan oleh permainan terselubung para cukong kayu kelas kakap. Yang pasti, saat dicopot ia ditelepon langsung oleh Kapolri Jenderal Sutanto. Ia diberi kabar mendapat kenaikan pangkat dan dipromosikan menjadi Gubernur Akademi Kepolisian di Semarang. Di jabatan barunya ia hanya menjabat hingga Februari 2009.
Publik tentu merindukan sosok polisi berani dan berintegritas seperti Sutjiptadi. Bukan polisi tidur atau patung polisi, seperti guyonan yang sangat masyhur dari Gus Dur itu. []