GELORA.CO - Tindakan Jaksa Penuntut Umum (JPU) yang mengajukan Peninjauan Kembali (PK) kepada Mahkamah Agung dalam kasus Bank Bali dengan terdakwa Djoko Tjandra dinilai inkonstitusional alias cacat hukum.
Hal tersebut disampaikan oleh Praktisi hukum Universitas Al-Azhar Indonesia, Suparji Ahmad saat menanggapi polemik PK yang dilakukan oleh JPU kepada Mahkamah Agung (MA) dalam kasus Djoko Tjandra.
"Karena yang punya hak PK berdasarkan pasal 263 KUHAP adalah terpidana atau keluarga ahli warisnya tidak ada dasar hukum bahwa jaksa PK, yang ada hanya yurisprudensi," kata Suparji, kepada wartawan, Kamis (30/7/2020).
Suparji begitu ia disapa menjelaskan, secara filosofis jaksa sebagai alat negara diberikan untuk membuktikan dugaan tindak pidana dalam sidang tingkat I banding dan kasasi.
"Kalau jaksa bisa PK, maka tidak ada kepastian hukum karena setiap saat orang yang sudah bebas atau lepas dapat dituntut melalui PK jaksa. Hal ini jelas bertentangan dengan nilai keadilan," Suparji menjelaskan.
Diketahui, Peninjauan Kembali yang diajukan oleh JPU bertentangan dengan Pasal 263 ayat (1) KUHAP yang berbunyi Terhadap putusan pengadilan yang telah memperoleh kekuatan hukum tetap, kecuali putusan bebas atau lepas dari segala tuntutan, terpidana atau ahli warisnya dapat mengajukan permintaan Peninjauan Kembali kepada Mahkamah Agung
Tidak hanya itu, Peninjauan Kembali oleh Jaksa melanggar dua hal. Pertama, Peninjauan Kembali tidak dapat diajukan terhadap putusan lepas dari tuntutan hukum dan Jaksa tidak dapat menjadi pemohon Peninjauan Kembali.
Jika merujuk kepada asas legalitas dalam fungsi nagatif yang terkandung dalam Pasal 3 KUHAP, maka Pasal 263 ayat (1) KUHAP bermakna bahwa Jaksa dilarang mengajukan Peninjauan Kembali terhadap putusan bebas atau lepas dari tuntutan hukum. Namun dua hal tersebut dilanggar oleh Jaksa.
Namun yang terjadi Peninjauan Kembali yang diajukan oleh JPU diterima dan dikabulkan oleh Mahkamah Agung dengan putusan no. 12 PK/Pid.Sus/2009 tanggal, (11 /6/2009).
Amar putusan Peninjauan Kembali itu sendiri berbunyi mengabulkan permohonan PK oleh JPU pada Kejaksaan Negeri Jakarta.
Putusan Mahkamah Agung telah bertentangan dengan Pasal 266 ayat (3) KUHAP yang berbunyi Pidana yang dijatuhkan dalam putusan PK tidak boleh melebihi pidana yang telah dijatuhkan dalam putusan semula.
Dalam putusan Kasasi yang dikeluarkan oleh Mahkamah Agung jo. Putusan Pengadilan Negeri Jakarta Selatan, Terdakwa JST dilepas dari segala tuntutan hukum (onstlag van rechtsvervolging), sedangkan dalam putusan PK, Terdakwa JST dihukum pidana penjara selama 2 tahun.
Hal ini berarti bahwa putusan PK yang diajukan oleh JPU melebihi pidana yang telah dijatuhkan dalam putusan semula, dan dengan demikian Putusan PK no. 12 PK/Pid.Sus/2009 tanggal 11 Juni 2009 melanggar Pasal 266 ayat (3) KUHAP.[sc]