Namun, di tahun 1994 perusahaan ini mendapatkan penugasan untuk mengadakan 10 pesawat dari Jerman dan pembuatan 31 kapal ikan dengan Spanyol. Kedua proyek besar ini dibiayai dengan berutang. Dua barang ini akan disewakan oleh PT PANN.
"Pemerintah tempatkan transaksi dua untuk penugasan. Ada 10 pesawat dari Jerman 737-200 Boeing 10 unit saat itu. Satunya 31 unit kapal Spanyol dalam bentuk barang, jadi kita terima kedua program itu. 10 pesawat nilainya US$ 89,6 juta dan 31 unit ikan itu US$ 182 juta," cerita Herry dalam rapat kerja bersama Komisi VI DPR, Selasa (14/7/2020).
PT PANN kemudian menyewakan 10 pesawat ini ke beberapa maskapai lokal. 3 unit di Merpati, 2 unit di Mandala, 2 unit di Bouraq, dan 3 Unit di Sempati. Sayangnya, semua maskapai ini berujung bangkrut, Herry pun bercerita tak ada uang sewa yang dibayarkan dari maskapai-maskapai tersebut.
"Semua maskapai collapse dan tidak bayar sama sekali ke PT PANN. Kecuali Merpati pernah kasih sekali," kata Herry.
Itu baru pesawat, menurut Herry proyek 31 kapal dari Spanyol mangkrak. 14 kapal baru terbangun, tapi tidak ada yang laku karena harganya yang mahal dibanding dengan kapal buatan lokal. Akhirnya 13 kapal sisanya tak diteruskan.
Dua penugasan besar yang gagal ini menjadi mimpi buruk untuk PT PANN. Sejak saat itu likuiditas PT PANN tergerus hingga puncaknya di tahun 2004 menyentuh ekuitas negatif, alias hasil kerja PT PANN tak lagi bisa menutup kerugian.
"Sejak 1994 mulai tergerus likuiditas dan negative equity 2004 karena hasil kita nggak bisa menutupi kerugian dari proyek ini," ujar Herry.
Semenjak saat itu, Herry mengatakan mulai 2006 pihaknya meminta restrukturisasi kepada Kemenkeu untuk semua pinjaman. Pihaknya meminta agar utang hanya dibayarkan pokoknya saja, dan tanpa membayar bunga.
Upaya restrukturisasi ini pun berlanjut hingga akhirnya mendapatkan PMN di tahun 2020 Rp 3,7 triliun untuk membayar utang.(dtk)