Indonesia Krisis Kepemimpinan Nasional

Indonesia Krisis Kepemimpinan Nasional

Gelora Media
facebook twitter whatsapp

Oleh:Pipit Apriani
KRISIS kepemimpinan nasional Indonesia dapat dilihat dari kebijakan-kebijakan publik pemimpin yang sedang menjabat dan calon pemimpin yang akan dimunculkan dalam pilkada mendatang.

Kebijakan presiden Jokowi dan menteri-menterinya saat ini tidak hanya tidak pro rakyat tapi juga cenderung menimbulkan gejolak di masyarakat. Contohnya RUU HIP, RUU Cipta Lapangan Kerja, UU No. 2 tahun 2020 dan lain-lain.

Di level kementerian, kebijakan Kemendikbud untuk 'belajar di rumah' menimbulkan kerepotan bagi banyak pihak khususnya orang tua. Biaya ekstra untuk kuota dan gadget sebagai sarana belajar, keharusan orang tua mengawasi dan mengajari anak-anaknya hingga beban pelajaran dan tugas yang bertumpuk dan sebagainya.

Kedua, pemberian dana POP kepada dua perusahaan dan bukan kepada lembaga pendidikan yang sudah memiliki track record menyelenggarakan pendidikan.

Kementerian KKP dengan ekspor benih lobster-nya. Di masa pandemi ini, secara logika seharusnya yang memegang kendali kebijakan kesehatan adalah Kementerian Kesehatan. Yang terjadi justru pembentukan badan baru di bawah Presiden yaitu Gugus Tugas Penanganan Covid 19.

Gugus Tugas ini kemudian berganti nama menjadi Satgas Penanganan Covid 19 dan sekarang berada di bawah Kemenko Perekonomian. Lagi-lagi tidak melibatkan Kementerian Kesehatan.

Jelas menunjukkan bahwa Pemerintah memandang pandemi lebih sebagai urusan keuangan negara dan bukan pada kesehatan rakyat.

Krisis kepemimpinan nasional sepertinya akan terus berlanjut. Di pilkada Desember mendatang, sejumlah kandidat pilkada sudah ditetapkan. Di antaranya adalah anak keponakan dan kerabat dari politisi, menteri hingga presiden Jokowi.

Di sisi lain, ada kemungkinan akan muncul kandidat versus kotak kosong. Artinya, partai politik di level nasional maupun level daerah tidak mampu memunculkan alternatif calon pemimpin lokal yang baru.

Partai politik juga terjebak dalam UU Pilkada yaitu 'yang dapat memajukan calon adalah parpol atau koalisi parpol yang memiliki kursi 20%' di parlemen daerah.

Kemunculan calon independen lebih banyak pada keinginan pribadi atau kelompok ingin ikut berkompetisi dalam pilkada atau justru memecah suara, dan bukan dorongan kuat masyarakat yang 'gerah' dengan situasi politik dan tidak mau terkotak-kotakkan oleh kepentingan partai politik.

Pembangunan dinasti politik semacam ini menghambat rotasi elit politik baru. Padahal rotasi atau sirkulasi elit politik lokal adalah salah satu syarat bagi terwujudnya iklim demokrasi yang sehat dan estafet kepemimpinan nasional di masa mendatang.

(Direktur Eksekutif ForDE (Forum on Democracy and Election), pemantau pemilu di beberapa negara Asia.)
BERIKUTNYA
SEBELUMNYA
Ikuti kami di Google Berita