Oleh:Dhimam Abror Djuraid
BANGKING is necessary but banks are not.
Pendiri Microsoft mengatakan hal itu pada 1995. Kita membutuhkan aktifitas perbankan, tapi kita tidak membutuhkan bank untuk melakukan aktifitas perbankan.
Manusia modern tidak bisa lepas dari aktifitas ekonomi modern yang melibatkan aktifitas perbankan, menyimpan uang, menarik uang, melakukan pembayaran.
Aktifitas itu melibatkan bank dan uang. Institusi bank modern sudah lahir di Eropa pada abad ke-16, dan uang sebagai sarana transaksi sudah dikenal manusia sejak peradaban Mesopotamia ribuan tahun yang lalu.
Dalam beberapa abad berikutnya, bank menjadi lembaga keuangan yang meraksasa dan berkembang ke seluruh dunia sampai sekarang. Sistem perbankan dianggap sebagai sistem yang paling canggih dan paling aman untuk melakukan transaksi keuangan.
Tak peduli berapa banyak penyelewengan yang dilakukan oleh perbankan, berapa banyak uang nasabah yang raib dan tidak sepenuhnya bisa diganti, bank tetap menjadi lembaga yang kokoh yang tak tergoyahkan. Bank tetap berdiri dengan angkuh dan tak tersentuh. Take it or leave it, ambillah atau enyahlah, seolah tidak memberi alternatif.
Dua peristiwa terjadi hampir bersamaan pekan ini yang menunjukkan bahwa ada yang salah dengan sistem perbankan. Sistem ini bukan sistem yang kokoh dan aman. Sebaliknya, sistem ini sudah terlalu tua, rapuh, keropos, mudah dibobol.
Yang pertama adalah pengadilan terhadap terdakwa pembobolan rekening bank wartawan senior Ilham Bintang oleh sekelompok orang licik yang terlihat begitu mudah menguras uang senilai ratusan juta rupiah. Bank yang terlihat rapuh itu bukan bank sembarangan, Bank Commonwealth yang sudah punya reputasi besar di Eropa dan Australia.
Pekan ini kasusnya mulai disidangkan. Tapi, tidak ada tanda-tanda peradilan ini akan bisa membongkar praktik jahat yang sudah banyak merugikan nasabah itu. Alih-alih bank bertanggung jawab, nasabahlah yang dipaksa menerima nasib.
Belum tampak ada tanda-tanda lembaga perbankan ini akan dimintai pertanggungjawaban atas kerugian ini. Lembaga kuno ratusan tahun itu tetap akan dilindungi oleh status quo karena ia terlalu besar untuk dibiarkan gagal, too big to fail.
Yang kedua adalah kasus Djoko S Tjandra yang pada 1999 membobol bank sampai hampir Rp 1 triliun. Setelah drama pengadilan bertahun-tahun gagal menjeratnya, pada 2009 Mahkamah Agung memutusnya bersalah dan menghukum dua tahun. Sebelum ditangkap Djoko Tjandra, yang dapat bocoran, keburu lari ke luar negeri menuju Papua Nugini.
Tiba-tiba pekan ini ia dikabarkan sudah keluyuran lagi di Indonesia dengan memakai indentitas palsu, dan sudah mengajukan permohonan peninjauan kembali kasus lamanya.
Dua peristiwa ini menunjukkan betapa karut-marutnya sistem perbankan kita, dan betapa rapuhnya sistem identitas nasional kita sehingga begitu mudahnya dibobol oleh orang-orang yang tidak bertanggung jawab.
Perbankan selalu mendapatkan perlindungan maksimal dan tidak pernah boleh gagal. Negara dengan ikhlas mengeluarkan anggaran raksasa saat krisis moneter 1998 untuk menyelamatkan perbankan yang nyaris tenggelam.
Alih-alih bank-bank itu selamat, uang besar itu malah banyak dikemplang. Akibatnya rakyat dirugikan Rp 2.000 triliun atau setara dengan dua tahun APBN.
Cerita-cerita muram seperti itu masih terus terjadi dan bank masih tetap akan dilindungi, dan karena itu bank selalu merasa besar dan dibutuhkan.
Tetapi status quo seperti itu tidak bakal lama bertahan. Tingkat kepercayaan masyarakat terhadap bank yang makin merosot akan membuat masyarakat meninggalkannya.
Dalam dua puluh tahun terakhir, ketika globalisasi menyatukan seluruh dunia melalui jaringan teknologi informasi, kemunculan revolusi digital tidak terhindarkan. Teknologi digital telah merevolusi dunia dan membongkar lembaga-lembaga status quo lama, termasuk perbankan.
Selama ini perbankan mendapat untung besar dari nasabah-nasabah besar. Bank merasa nyaman dengan praktik itu. Bank tidak melayani masyarakat kelas bawah karena uang mereka terlalu sedikit dan kalangan bawah tidak akan bisa memenuhi syarat administratif untuk menjadi nasabah bank.
Kalangan masyarakat bawah ini tidak punya identitas. Mereka juga tidak punya agunan untuk menjadi jaminan, dan karena itu mereka tidak bisa mendapatkan kredit. Mereka adalah kelompok "unbankable" tidak tersentuh oleh bank.
Tapi, revolusi digital mengubah semuanya. Orang-orang kelas bawah yang jumlahnya 70 persen dari total warga negara dunia yang jumlahnya 7,5 miliar adalah harta karun yang tidak kelihatan. Orang-orang kecil itu laksana pondasi piramida yang menyimpan potensi luar biasa yang oleh C.K Prahalad (2004) disebut sebagai The Fortune at the Bottom of the Pyramid, kekayaan rahasia di dasar piramida.
Revolusi digital memungkinkan harta karun yang semula terpendam itu menjadi kekayaan yang nyata. Di China dan India ratusan juta orang, yang semula tak tersentuh oleh bank, sekarang menjadi pelaku perdagangan aktif tanpa harus berhubungan dengan bank dan uang tunai.
Adalah Ma Yun, seorang entrepreneur China--lebih dikenal dengan nama Jack Ma--yang memperkenalkan situs perdagangan digital Alibaba, dan sekaligus memperkenalkan sistem pembayaran tanpa uang tunai, Alipay.
Orang-orang kelas bawah, yang tidak tersentuh bank, sekarang bisa menjual barangnya secara digital online dan memperoleh kredit dengan mudah tanpa aturan yang berbelit-belit dari Alibaba dan lembaga keuangan bentukannya, Ant Finansial.
Dulu orang ragu menjual barang secara online karena takut tak dibayar oleh konsumen. Dulu konsumen takut membeli barang secara online karena takut barangnya jelek tidak sesuai dengan kesepakatan.
Alipay menjembatani problem itu dengan menciptakan rekening bersama antara penjual dan pembeli. Uang dari pembeli ditampung di Alipay sampai barang diterima dan sesuai dengan spesifikasi yang ditentukan. Setelah pembeli puas dengan barang pesanannya, uang baru ditransfer oleh Alipay kepada penjual. Semuanya dalam hitungan detik tanpa perlu bank, hanya cukup dengan telepon pintar yang murah-meriah.
Sejak diperkenalkan pada 2005 sampai sekarang sudah setengah miliar masyarakat China yang menggunakan Alibaba dan Alipay. Dalam lima tahun ke depan ditargetkan 1 miliar penduduk China yang jumlahnya 1,4 miliar sudah memakai fasilitas dagang online Alibaba dan memakai dompet digital Alipay.
China akan menjadi negara pertama tanpa uang tunai dan menggantinya dengan uang digital dan warga China akan menjadi manusia-manusia digital.
Identitas dan data pribadi tidak perlu lagi memakai KTP atau paspor, cukup dengan KTP digital yang ditunjukkan melalui barcode di telpon pintar semua data mengenai warga negara akan diketahui, mulai dari identitas, data kesehatan, sampai catatan kriminalnya.
Revolusi digital yang melahirkan gelombang tsunami teknologi finansial ini akan menggelontor semua negara di dunia dalam waktu tidak terlalu lama. Dunia perbankan berada dalam ancaman akan musnah seperti yang diprediksi oleh Bill Gates.
Dengan identitas digital kasus pemalsuan identitas oleh Djoko Tjandra dengan mudah akan diketahui. Dengan makin meluasnya lembaga teknologi finansial seperti Alipay lembaga-lembaga bank yang kuno tapi sombong itu akan segera gulung tikar.
Gelombang ini akan segera sampai di Indonesia, tanda-tandanya sudah semakin nyata dengan bertumbuhnya start up finansial di Indonesia. Lembaga-lembaga perbankan Indonesia berada dalam bahaya besar.
Tumbuh suburnya start up seperti Gojek dan Bukalapak membuktikan bahwa revolusi digital sudah hadir di Indonesia. Tidak akan lama lagi lembaga finansial teknologi ala Alibaba dan Alipay akan menyapu Indonesia, dan kita ucapkan sayonara kepada bank dan uang tunai.
Ilham Bintang, mungkin, tak bakal memperoleh keadilan seperti yang diharapkannya. Uang ratusan juta tidak bakal kembali. Tapi, ia menjadi martir bagi lahirnya era baru. Sebuah era manusia serba-digital, tanpa bank dan tanpa uang tunai. Sebuah era yang sudah tampak di depan mata.
(Wartawan Senior)