Egi menyebut industri batubara menghasilkan setumpuk permasalahan negatif. Lahan hijau rusak akibat berubah menjadi lokasi pertambangan. Pembangkit listrik dengan bahan bakar batubara yakni PLTU secara nyata mengancam kesehatan dan nyawa warga.
“Sayangnya Indonesia masih bernafsu untuk terus melanggengkan industri batubara,” kata Egi di Jakarta, Selasa (14/7).
Egi mengatakan, pengerukan batubara secara masif dapat terlihat lewat laju produksi batubara yang 2,5 kali lebih tinggi dibanding rata-rata dunia. Hal itu sekaligus menunjukkan ketiadaan komitmen Indonesia terhadap krisis iklim yang mengancam bumi.
Industri batubara tidak bisa dipisahkan dari PLTU. Salah satu penggunaan terbesar batubara adalah untuk pembakaran PLTU. PLTU hingga kini juga merupakan jenis pembangkit yang paling banyak digunakan.
“Masifnya penggunaan PLTU tak lepas dari praktik-praktik korupsi. Sedikitnya dua kasus korupsi yang berkaitan dengan PLTU telah ditangani aparat penegak hukum,” ucap Egi.
Pertama, kasus PLTU Riau-1. Kasus itu melibatkan aktor eksekutif, legislatif, pengusaha, dan Direktur Utama PLN. Hampir semua telah mendapat vonis penjara kecuali mantan Direkur Utama PLN Sofyan Basir yang divonis bebas.
Kedua, kasus korupsi PLTU Cirebon. Kasus itu melibatkan Bupati yang diduga bersekongkol dengan pengusaha untuk memuluskan proyek PLTU.
Masalah yang ada dalam industri batubara termasuk PLTU penting untuk menjadi sorotan. Selain telah terbukti mengancam nyawa manusia dan memperburuk krisis iklim, PLTU telah menjadi bancakan oleh banyak pihak.
“Di balik proyek pembangkit listrik, terdapat orang-orang dengan kekayaan luar biasa,” ucap Egi.
PLTU saat ini juga perlu disoroti karena celah perburuan rente terbuka lebar. Ini dikarenakan Presiden Jokowi telah mencanangkan program pembangkit listrik 35.000 MW yang mayoritasnya berjenis PLTU. Dukungan finansial untuk megaproyek tersebut mencapai USD 72,3 miliar dan 75% pembangkit diserahkan kepada swasta.
Egi menyebut ICW telah menelusuri 20 proyek PLTU dari seluruh Indonesia. Sedikitnya 10 orang terkaya se-Indonesia berada di balik proyek pembangkit listrik. 12 orang di balik pembangkit juga terafiliasi dengan perusahaan di negara surga pajak. Selain itu terdapat 3 orang pejabat publik aktif yang terafiliasi dengan proyek PLTU.
Di antara orang-orang dengan kekayaan luar biasa, terdapat nama Sandiaga Uno, Boy Thohir, dan Arini Subianto yang berada di balik PLTU Tanjung Kalimantan Selatan. Mereka merupakan pengurus dan pemegang saham dari PT Adaro Energy Tbk. Selain itu terdapat juga nama Prajogo Pangestu di balik PLTU Jawa 9 dan 10 sebagai pemegang saham mayoritas PT Barito Pacific Tbk.
“Kita juga masih mengingat geger Paradise Papers & Panama Papers yang memunculkan dugaan adanya modus penghindaran pajak (tax avoidance) melalui negara surga pajak,” tutur Egi.
Egi mengatakan, individu di balik PLTU turut ditemukan dalam database International Consortium dan Investigative Journalists (ICIJ) yang memuat nama-nama orang di negara surga pajak. Di antara nama-nama tersebut terdapat Luhut Binsar Pandjaitan, Djamal Nasser Attamimi, Dewi Kam, dan Edwin Suryadjaya. Luhut misalnya, berada di balik PLTU Sulbagut 1 dan PLTU Sulut 3.
Adapun tiga orang pejabat publik yaitu Luhur Binsar Pandjaitan, Fachrul Razi berada di balik PLTU Sulbagut 1 dan PLTU Sulut 3 sebagai pemegang saham dan pengurus di salah satu perusahaan Grup Toba. Erick Thohir juga berada di balik PLTU Tanjung Kalimantan selatan melalui afiliasi dengan saudara kandungnya Garibaldi Thohir.
Sejumlah nama-nama yang ditemukan bukanlah nama yang asing dalam industri batubara. Grup perusahaan mereka turut menguasai pertambangan batubara. Hal ini juga menunjukkan bahwa dari hulu ke hilir, industri batubara telah dicengkeram oleh elite-elite kaya atau oligarki.
Pasal 33 konstitusi kita tegas menyebutkan bahwa sumber daya alam dimanfaatkan untuk kebaikan publik, bukan untuk menguntungkan kepentingan privat atau kelompok. Sehingga cengkeraman oligarki dalam industri batubara tidak boleh diabaikan begitu saja.
Industri batubara telah membebani negara dengan tanggungjawab lebih. Negara diharuskan menanggung biaya atas kerusakan lingkungan dan kesehatan warga. Lebih lagi, penggunaan batubara semakin memperparah krisis iklim, sehingga penggunaan PLTU harus diberikan perhatian khusus. Jika PLTU telah terbukti merugikan kebaikan umum, maka penggunaannya harus segera dihentikan. (*)