Politikus PDIP, Andreas Hugo Pareira menilai kondisi tersebut jangan dipersoalkan. Alasannya, karena rakyat yang menentukan pilihan.
"Toh, akhirnya rakyat juga yang putuskan. Mau pilih Gibran atau pilih kotak kosong. Tidak ada alasan juga untuk memaksa orang harus pilih Gibran," ujar Andreas, Selasa, 21 Juli 2020.
Dia menilai dengan memilih Gibran atau kotak kosong juga tata cara yang demokratis dalam pilkada. Sebab, hal ini sudah diatur dalam Undang-Undang Pilkada. Ia menekankan tak perlu menyudutkan Gibran lantaran statusnya sebagai putra Presiden Jokowi.
"Memilih Gibran dan kotak kosong juga merupakan prosedur pemilihan demokratis yang kita buat. Dan, kita yakini itu demokratis. Kenapa untuk kasus Gibran kita mencari alibi untuk membantahnya," jelasnya.
Pun, Andreas heran dengan maraknya opini Gibran maju ke pilkada maka memperkuat dinasti politik Jokowi. Bagi dia, opini dinasti politik itu tak relevan. Sebab, sistem politik di Indonesia bukan seperti di Korea Utara atau Korut yang punya sistem totaliter.
"Karena dalam sistem pemilihan langsung, yang memutuskan seseorang terpilih atau tidak adalah rakyat. Dinasti hanya berlaku pada sistem monarki atau sistem totaliter sebagaimana yang dipraktikkan Korut saat ini," ujar Anggota DPR itu.
Untuk diketahui, jelang Pilkada Solo, PDIP tampaknya akan memegang peta politik karena punya kekuatan dalam elektoral kursi DPRD. Partai pengusung utama Gibran itu memiliki 30 dari total 45 kursi DPRD Solo.
Artinya, cuma 15 kursi yang milik partai-partai lain seperti Gerindra (3 kursi), PAN (3), Golkar (3). Sementara, PKS punya 5 kursi. Dan, sisa satu kursi lain milik PSI.
PDIP sudah mengumumkan Gibran berpasangan dengan Teguh Prakosa untuk berduet di Pilkada Solo. Nama Gibran ini juga menyisihkan Wakil Wali Kota Solo, Achmad Purnomo Purnomo yang sebelumnya dijagokan oleh DPD PDIP Solo. (*)