Gibran Dan Masa Depan Demokrasi Kita

Gibran Dan Masa Depan Demokrasi Kita

Gelora Media
facebook twitter whatsapp

Oleh:Abdul Hamid
TIDAK ada aturan yang dilanggar dalam pencalonan Gibran Rakabuming Raka sebagai Wali Kota Surakarta. Gibran, sebagaimana warga negara lainnya, punya hak konstitusional yang tak bisa dihilangkan. Ia berhak dipilih dan memilih.

Namun, intervensi Presiden Joko Widodo yang terang-terangan dalam proses kandidasi dengan memanggil Achmad Purnomo ke Istana Negara menjadi tinta hitam dalam sejarah demokrasi Indonesia.

Ia menjadi tinta hitam karena dua alasan. Pertama, Jokowi menggunakan simbol kekuasaan negara untuk meredam rivalitas internal kandidasi partai. Istana adalah simbol negara, yang tidak boleh dipakai untuk kepentingan partai. Apalagi untuk memengaruhi keputusan internal partai.

Sinyal intervensi ini cukup terang, karena selain diundang ke Istana, Purnomo mengaku ditawari jabatan oleh Jokowi agar mundur dan menerima pencalonan Gibran. Ada pelanggaran etik berat di sana. Bahwa sebagai presiden, Jokowi telah menggunakan kekuasaan negara untuk melanggengkan ambisi politiknya.

Ambisi politik Jokowi jelas, yaitu memuluskan langkah politik putra sulungnya, Gibran Rakabuming Raka. Kita patut kecewa karena sebelumnya Jokowi berjanji tidak akan ikut campur dalam pencalonan Gibran. Bahkan Jokowi mengaku tidak peduli pada pilihan politik Gibran, yang sebelumnya juga berjanji tidak akan masuk politik. Atas dasar janji itu, DPC PDIP Surakarta mantap mencalonkan Achmad Purnomo.

Maka ketika nama Gibran muncul di tengah jalan, DPC PDIP Surakarta bergeming. Ditambah, dengan perolehan 30 kursi dari 45 kursi DPRD, DPC PDIP Surakarta seharusnya berhak menentukan sendiri kandidat yang akan diusungnya pada Pilkada 2020. Ini sesuai dengan Peraturan Partai Nomor 24 Tahun 2017 yang membolehkan DPC dengan perolehan suara minimal 25 persen untuk melakukan penjaringan mandiri dan tertutup.

Miriam Budiardjo, dalam buku Dasar-dasar Ilmu Politik (2003), mengatakan, tugas utama partai adalah rekrutmen politik dan seleksi kepemimpinan. Partai bertugas merekrut kader dan melatihnya menjadi calon-calon pemimpin yang berkualitas. Fungsi ini yang dijalankan DPC PDIP Surakarta ketika mengajukan Achmad Purnomo sebagai kandidat. Wakil Wali Kota Surakarta itu sudah melewati tahapan kaderisasi dari bawah.

Pada Pemilu 2019 lalu, ia juga punya andil besar menaikkan perolehan suara PDIP, dari semula 24 kursi DPRD menjadi 30 kursi. Atas alasan itu, Ketua DPC yang juga Wali Kota Surakarta, FX Hadi Rudyatmo, memberikan dukungan penuh pada wakilnya itu.

Patut disayangkan, DPC yang berusaha menjalankan fungsi partai dengan baik itu diintervensi oleh presiden. Kader yang mengikuti proses dari bawah, ikut berjuang membesarkan partai, disuruh mundur dan legowo atas pencalonan anak presiden yang baru mendaftar jadi anggota partai saat tahapan Pilkada sudah digulirkan.

Sebagai tulang punggung demokrasi, matinya demokrasi partai menjadi alarm bagi matinya demokrasi di tingkat negara. Intervensi Jokowi dalam kandidasi Gibran, tidak saja menjadi tinta hitam bagi upaya pelembagaan demokrasi di tubuh partai, tetapi juga bagi pematangan demokrasi di tingkat negara. Dengan memanggil Purnomo ke Istana, dan menawarinya jabatan, ia mempertontonkan mimpi buruk demokrasi: bahwa kekuasaan negara bisa dipakai untuk memuluskan ambisi politik pribadi.

Kedua, dukungan penuh Jokowi sebagai presiden pada pencalonan anaknya berdampak pada matinya kompetisi. Gibran adalah kasus pertama dalam sejarah Indonesia, di mana anak dari presiden yang masih menjabat mencalonkan diri sebagai kepala daerah. Dengan segala privilege yang dimilikinya, pencalonan anak presiden ini kemudian menciptakan ruang kompetisi yang tidak seimbang. Apalagi, sang bapak mempertontonkan dukungannya secara gamblang dengan turun tangan dalam proses kandidasi.

Ketika Jokowi memanggil Purnomo ke Istana, menawarinya jabatan agar legowo pada pencalonan Gibran, maka ia memberi sinyal bukan hanya kepada Purnomo, tetapi juga kepada siapa pun yang hendak melawan Gibran di Pilkada Surakarta. Sinyal itu juga berarti, Jokowi tidak main-main dengan pencalonan anaknya.

Sinyal ini ditangkap dengan baik oleh semua elite partai. Dukungan pun mengalir ke Gibran. Semua partai, kecuali Partai Keadilan Sejahtera (PKS), sudah mendeklarasikan dukungannya kepada Gibran. Itu artinya, Gibran sudah hampir pasti melaju tanpa lawan. Dengan sinyal itu, Jokowi secara sadar menutup ruang kompetisi.

Kompetisi adalah ruh demokrasi. Tanpa kompetisi, demokrai tak lebih dari prosedur tanpa arti. Seperti demokrasi Pancasila pada Orde Baru, tanpa kompetisi ia hanya menjadi alat legitimasi bagi ambisi rezim penguasa.

Partai Kartel

Apa yang dilakukan Jokowi untuk memuluskan ambisi politik putra sulungnya semakin menegaskan tesis Andreas Ufen dalam Political Parties and Democratization in Indonesia (2009), bahwa partai-partai di Indonesia cenderung berkembang menjadi apa yang disebut “partai kartel”, yaitu partai yang dikuasi oleh elite penguasa dengan kepribadian otoriter.

Partai semacam ini tidak peduli pada pelembagaan demokrasi. Keputusan politik dimonopoli oleh elite penguasa. Betapa pun baiknya kinerja DPC PDIP Surakarta, ia tetap saja tidak bisa melawan keputusan pusat. Betapa pun sulitnya melalui tahap demi tahap tangga kaderisasi partai, tetap saja Purnomo tidak bisa menentang keinginan Presiden Jokowi.

Jokowi sempat menjadi harapan bagi penguatan demokrasi. Majalah Time pernah menjadikan wajahnya sebagai cover dengan judul New Hope. Jokowi menjadi harapan baru bagi demokrasi Indonesia karena ia adalah presiden pertama yang bukan berasal dari kalangan elite politik. Namun, harapan yang sempat dipancarkannya itu kini ia redupkan sendiri. Demi memuluskan langkah politik anaknya, Jokowi mengorbankan kader yang sudah meniti karier dari bawah dan menutup ruang kompetisi.

Partai kartel tidak peduli pada kaderisasi dan ruang kompetisi. Ia tak lebih dari alat untuk mencapai kekuasaan. Jokowi lahir dari kaderisasi partai dan dari ruang kompetisi yang sehat. Tetapi kini ia dengan sengaja menutup lahirnya “Jokowi-Jokowi” yang lain. Demi anaknya, ia rela dicatat dengan tinta hitam dalam sejarah demokrasi.

Memang tidak ada aturan yang dilanggar dalam pencalonan Gibran. Tetapi dampaknya bagi demokrasi, abadi dalam sejarah ibu pertiwi.

(Direktur Visi Indonesia Strategis)
BERIKUTNYA
SEBELUMNYA
Ikuti kami di Google Berita