Oleh:Wempy Hadir
RENCANA perombakan kabinet (reshuffle) kembali menguat setelah Jokowi melakukan pidato singkat dihadapan para menteri kabinet tertanggal 18 Juni 2020. Namun pidato kemarahan Jokowi tersebut baru disebarkan ke publik sepuluh hari setelahnya pada tanggal 28 Juni 2020.Peristiwa ini mengingatkan saya pada kisah dramaturgi yang dicetuskan oleh seorang sosilolog Amerika Erving Goffman (1922-1982) yang termuat dalam karyanya “Presentation of Self in Everyday Life”. Dia menggambarkan bahwa manusia merupakan subjek dari sebuah drama.
Dalam sebuah drama, ada yang disebut sebagai panggung depan (front stage) dan ada yang disebut panggung belakang (back stage). Dalam penampilan sebuah pementasan baik drama maupun sandiwara, apa yang terjadi pada panggung depan, sangat dipengaruhi oleh sejauh mana panggung belakang melakukan injeksi narasi, mimik, retorika dan lain sebagainya.
Mereka yang di panggung belakang tentu bukan orang biasa, sebab mereka mempunyai keahlian membuat drama yang sangat bagus dan bahkan punya pengalaman yang luas.
Dalam konteks kabinet pemerintahan Jokowi-Maruf Amin juga sama. Jokowi dan Maruf Amin serta para pembantunya (menteri kabinet) berperan sebagai panggung depan. Sementara yang bermain sebagai panggung belakang adalah elite-elite partai politik serta para oligarki.
Jumlah anggota pada panggung belakang tidak banyak. Sebagai rulling elite, jumlah mereka seturut dengan jumlah partai koalisi serta para elite oligarki yang jumlahnya juga tidak terlalu banyak. Walaupun jumlah mereka yang tidak terlalu banyak, namun pengaruh mereka cukup luas.
Hal ini senada dengan apa yang dikemukan oleh ilmuwan politik Italia Gaetano Mosca (1858-1941) tentang the rulling class (kelas penguasa). Dia membagi kelas sosial dalam dua bagian. Pada bagian pertama dia menjelaskan tentang kelas penguasa. Pada kelas ini jumlah sangat terbatas namun pengaruhnya sangat luas.
Sementara pada kelas sosial yang kedua dalah kelas yang dikuasai. Kelas ini sangat rentan dimanfaatkan oleh yang pertama walaupun kelas pertama secara kuantitas jumlahnya sedikit, namun kelas tersebut mempunyai sumber daya yang tidak dimiliki oleh kelas yang kedua.
Rulling class dalam pemerintahan Jokowi-Maruf Amin mempunyai kekuatan yang luar biasa. Hal ini bisa dilihat Jokowi tidak bisa serta merta melakukan perombakan kabinet, walaupun dia mempunyai hak prerogatif untuk mengangkat dan memberhentikan seorang menteri. Namun karena kuatnya cengkeraman panggung belakang, maka perombakan kabinet hanya wacana bak drama yang tak ada ujungnya.
Rencana perombakan kabinet telah memicu terjadinya perubahan konstelasi politik nasional. Bahkan bayang-bayang untuk Pemilu 2024 sudah mulai dilakukan prakondisi. Misalnya saja bagaimana partai koalisi menanggapi rencana reshuffle kabinet dengan melakukan komunikasi politik dengan beberapa partai.
Sebut saja bagaimana Golkar melakukan komunikasi politik dengan ketua umum partai Demokrat Agus Harimurtui Yudhoyono.Setelah itu, ketua umum Golkar juga melakukan pertemuan dengan Prabowo Subianto yang juga sebagai Ketua Umum Gerindra.
Pertemuan tersebut bisa dibaca sebagai serangan balik (fight back) terhadap rencana reshuffle kabinet.
Pesannya jelas bahwa jika terjadi perombakan kabinet terhadap menteri dari partai tersebut, bisa menimbulkan perubahan peta politik menuju 2024. Melalui pembantu presiden, Istana merespons bahwa tidak perlu bahas lagi soal perombakan kabinet sebab tidak ada rencana perombakan kabinet.
Ini mau menunjukan bahwa bahwa begitu kuatnya posisi tawar partai koalisi sehingga mampu mengurungkan niat presiden untuk melakukan reshuffle. Belum lagi serangan balik yang dilakukan oleh kelompok oligarki.
Serangan dari kelompok ini tidak bersifat terbuka seperti yang dilakukan oleh partai politik. Namun posisi kelompok ini sangat berpengaruh terhadap situasi dan kondisi bangsa. Sebab mereka mempunyai sumber daya yang luar biasa yang bisa digunakan kapan saja jika kepentingan mereka terganggu.
Jokowi Disandera oleh Parpol dan Oligarki
Kekuatan partai politik dan kelompok oligarki tidak bisa dihindarkan oleh Jokowi. Sebab secara defacto, partai politik mempunyai saham politik. Saham partai politik tersebut termanifestasikan dalam bentuk jatah kursi kabinet serta beberapa jabatan strategis dalam pemerintahan Jokowi-Maruf Amin.
Maka tidaklah heran bahwa dalam mengambil keputusan yang bersifat prerogatif sekalipun, Jokowi mesti mempertimbangkan kepentingan partai dan kelompok oligarki.
Padahal hak prerogatif adalah hak istimewa yang dimiliki oleh seorang kepala pemerintahan dalam mengangkat dan memberhentikan para pembantu kabinetnya. Namun hal itu ternyata tidak mudah sebab ada kekuatan lain yang bisa menjadi ganjalan.
Ganjalan tersebut telah mengamputasi hak prerogatif presiden. Ibarat kata walaupun Jokowi mempunyai senjata dan peluru untuk menembak sebuah sasaran, namun yang memegang senjata adalah orang lain.
Padahal kinerja para menteri kabinet Jokowi sangat buruk sehingga mendesak untuk segera dilakukan reshuffle sebab rating approval-nya rendah. Hal ini bisa dilihat dari rendahnya penyerapan anggaran pada setiap kementerian.
Kondisi faktual sebenarnya sudah memadai untuk dilakukan perombakan. Namun lagi-lagi Jokowi bukanlah pemain tunggal. Masih ada aktor lain yang menjadi juru kunci atas seluruh kebijakan yang dibuat. Pengaruh partai politik serta pengaruh kelompok oligark tidak bisa dinegasikan.
Dua kekuatan tersebut telah menyandera Jokowi untuk melakukan percepatan penanganan berbagai kebijakan publik. Bahkan ada menteri yang melakukan kebijakan yang dianggap merugikan Negara, namun tidak mampu untuk melakukan tindakan tegas.
Ini menunjukan bahwa Jokowi sedang disandera oleh kepentingan partai politik. Kepentingan partai politik juga bisa dilihat dalam bentuk yakni dalam bentuk kepentingan politik dan bisnis. Dalam hal kepentingan politik pada Pemilu 2024, partai politik mulai melakukan konsolidasi kekuatan logistik.
Dengan demikian, sebisa mungkin kebijakan yang dibuat bisa membawa dampak ekonomi bagi kelompok maupun partainya. Walaupun saya melihat bahwa ada juga menteri yang bekerja dengan tulus.
Bagaimana Seharusnya Koalisi Dibangun?
Secara teoritis koalisi dibangun karena adanya kesamaan ideologi, platform dan visi-misi. Dengan demikian maka tujuan akhir dari koalisi adalah untuk mewujudkan sebuah koalisi yang berorientasi pada kebijakan (policy seeking coalition) yang bisa membawa manfaat bagi kepentingan umum.
Misalnya saja kalau kita melihat koalisi di negara lain seperti di Amerika, boleh saja ada kubu oposisi dan kubu pemerintah dalam pemerintahan di Amerika. Namun pada titik tertentu ketika ada kebijakan yang berkaitan dengan kepentingan umum, maka kedua partai berada dalam satu koalisi untuk mendukung sebuah kebijakan yang diambil.
Kebijakan yang didukung misalnya soal jaminan kesehatan nasional. Rasionalitas dalam membangun koalisi tetap nampak dan bisa berjalan.
Namun secara empirik di negara Indonesia menunjukan bahwa koalisi dibangun sangat rapuh, bahkan orientasinya adalah kepentingan pragmatis. Mungkin itulah sebabnya Harold D. Lasswell (1902-1978) seorang ilmuwan politik Amerika mengungkapkan bahwa politik adalah siapa mendapatkan apa, bagaimana dan kapan (politics is who get what, how and when).
Saya melihat bahwa koalisi baik dalam politik nasional maupun dalam konteks politik lokal di Indonesia terjebak dalam pola office seeking coalition (koalisi yang dibangun dengan orientasi pada pembagian kekuasaan atau jabatan/posisi).
Orientasi ini sangat gamblang. Bagaimana kekuasaan politik dibagi-bagi kepada partai koalisi dan kelompok oligarki. Oleh sebab itu, berbagai kebijakan politik yang diproduksi oleh kementerian ataupun lembaga dari perwakilan partai politik atau kelompok oligarki tersebut selalu jatuh dalam rent seeking policy (kebijakan yang berbasis pada pemburuan rente).
Kebijakan tersebut sangat tidak sejalan dengan nurani Jokowi sebagai pemimpin rakyat. Apalagi Jokowi merupakan kader partai yang melekat dengan jargon wong cilik (orang kecil).
Jokowi sebagai kepala Negara dan pemerintahan tentu tahu bagaimana para menterinya melakukan hal tersebut di atas. Maka tidak heran dalam beberapa kesempatan dia selalu memberikan sinyal yang kuat bahwa ada yang tidak menjalankan tugasnya dengan tepat.
Bahkan dalam pidato pada tanggal 18 Juni 2020 di hadapan para menteri kabinet menyampikan bahwa dia akan mencopot siapa saja yang tidak perform. Ancaman ini tentu berangkat dari kinerja para menteri yang sangat buruk di mata presiden dengan rating approval yang rendah.
Jalan keluar yang bisa dilakukan oleh presiden adalah dengan menata kembali partai politik koalisi serta menertibkan anggota kabinet dari berbagai kepentingan pragmatis yang hanya akan mereduksi kepercayaan publik terhadap pemerintahan Jokowi.
Caranya adalah Jokowi harus mengambil langkah yang tidak populer, misalnya mengevaluasi terhadap setiap menteri dengan menggunakan KPI (Key Performance Indicator). Siapa saja para menteri yang rating approval-nya rendah, mesti dirombak tanpa harus takut ditinggalkan oleh partai maupun oleh kekuatan di luar partai.
Hanya dengan cara demikian publik melihat bahwa presiden tetap memiliki otonomi yang kuat dalam menentukan siapa saja yang layak untuk menduduki posisi menteri. Kesan yang terjadi selama ini adalah Jokowi berada dalam bayang-bayang partai koalisi dan para oligarki.
Dalam sebuah sistem politik, sebuah sistem dianggap mati ketika tidak lagi menghasilkan kebijakan politik. Demikian halnya dengan seorang presiden, kekuasaanya dianggap hilang mana kala ia tidak mampu melakukan evaluasi terhadap pembantunya yang berkinerja buruk.
Saya dan publik yang lainnya tentu menunggu apakah presiden masih mempunyai nyali untuk melakukan perombakan kabinet. Formasi kabinet yang diisi oleh orang-orang yang mempunyai reputasi dan rekam jejak (track record) yang bagus tentu akan mendapatkan dukungan dari publik.
Jokowi sebagai pemimpin rakyat, mestinya tidak boleh takut untuk melakukan hal yang terbaik bagi kebaikan umum (bonum commune).
(Penulis adalah Direktur Eksekutif Indopolling Network)