Dalam Perspektif Jawa, Kemarahan Jokowi Dapat Dibaca sebagai Tanda Kekuasaan Melemah

Dalam Perspektif Jawa, Kemarahan Jokowi Dapat Dibaca sebagai Tanda Kekuasaan Melemah

Gelora News
facebook twitter whatsapp

GELORA.CO - Pidato marah-marah Presiden Joko Widodo di hadapan para menterinya, dalam Sidang Kabinet Paripurna 18 Juli lalu, menuai pro kontra publik hingga beberapa minggu belakangan ini.

Bahkan, fenomena ini menjadi sorotan Lembaga Penelitian, Pendidikan dan Penerangan Ekonomi dan Sosial (LP3ES).

Dalam sebuah diskusi daring, Director Center for Media and Democracy LP3ES Wijayanto menyampaikan pandanganya terkait kemarahan Jokowi melalui kacamata budaya Jawa.

Ia menuturkan, kemarahan seorang Jokowi yang notabene orang asli Jawa Solo adalah suatu hal yang di luar kebiasaan budaya Jawa.

"Jadi ketika Presiden Jokowi menampakkan secara terang-terangan kemarahan yang luar biasa, dengan mimik muka, kata-katanya, maka ini sebenarnya suatu hal yang luar biasa, yang tidak cocok dengan prinsip (budaya Jawa) ini sebenarnya," ujar Wijayanto, Senin (6/7).

Seyogyanya, menurut Wijayanto, seorang Jawa tulen seperti Jokowi cukup bersikap lemah lembut dalam menegur para menterinya yang tidak becus bekerja menangani pandemik virus corona baru (Covid-19).

Karena dalam prinsip Jawa, terdapat situasi ideal yang diharapkan muncul dalam setiap hubungan sosial, yaitu rukun.

Menurut Wijayanto, rukun adalah perasaan yang dalam keadaan harmonis, tenang, damai, saling membantu untuk satu tujuan yang sama. Bukan menciptakan pertengkaran atau perselisihan dalam suatu kehidupan sosial.

Namun dengan melihat sikap Jokowi yang marah-marah, dan disiratkan secara luas ke publik, maka tidak lain dan tidak bukan justru malah menunjukkan makna sebenarnya dari kondisi pemerintahan saat ini.

"Dalam perspektif budaya politik Jawa, kemarahan Presiden Jokowi yang ditampakkan secara terbuka di depan publik dapat dibaca sebagai pertanda semakin melemahnya kekuasaan politiknya," ucapnya.

"Karena kalau dia masih kuat, maka dia tidak akan bereaksi seperti itu, dia cukup tersenyum kepada menterinya yang dia nilai enggak bagus kinerjanya. Lalu dengan baik-baik mengatakan, “maaf anda kinerjanya buruk, saya butuh reshuffle”,” demikian Wijayanto. (*)
BERIKUTNYA
SEBELUMNYA
Ikuti kami di Google Berita