GELORA.CO - Jejak buronan Joko Soegiarto Tjandra alias Djoko Tjandra tersebar di mana-mana. Namun terpidana kasus pengalihan hak tagih (cessie) Bank Bali itu belum juga terlacak.
Terlepas dari itu, upaya hukum luar biasa, yaitu peninjauan kembali (PK) yang diajukan Djoko Tjandra, masih bergulir di pengadilan. Proses ini tentu harus benar-benar dikawal mengingat sebelumnya banyak buron lepas dari jerat hukum melalui PK dalam sejarah peradilan Indonesia.
Lebih dari satu dekade sebelumnya ada 2 nama buronan yang lolos melalui PK. Adalah Lesmana Basuki dan Tony Suherman.
Pada Rabu, 10 Desember 2008, Kejaksaan Agung (Kejagung) melalui Kepala Pusat Penerangan Hukum (Kapuspenkum) yang saat itu dijabat Jasman Panjaitan menyampaikan tentang lolosnya 2 nama buronan itu. Keduanya saat itu merupakan terdakwa kasus korupsi proyek Jakarta Outer Rings Road (JORR).
"Pada 2006 kita menyebarkan pamflet berisi 12 foto koruptor buronan. Dua di antaranya adalah Lesmana (83) dan Tony (47) yang masing-masing beralamat di Jalan Padalarang, Menteng, Jakarta Pusat, dan Jalan Bukit Duri Utara No 26, Tebet, Jakarta Selatan," ujar Jasman saat itu.
Lesmana dan Tony saat itu menjabat sebagai Presiden Direktur dan Direktur Operasional PT Sejahtera Bank Umum (SBU). Mereka didakwa terlibat dalam tindak pidana korupsi yang merugikan negara Rp 209,350 miliar dan USD 105 juta.
Pada 29 September 1999, Pengadilan Negeri Jakarta Pusat (PN Jakpus) menyatakan keduanya tidak bersalah dan bebas. Tapi kasasi MA pada 25 Juli 2000 mengganjar keduanya hukuman penjara dua tahun penjara. Lesmana dikenai denda Rp 25 juta subsider empat bulan penjara dan uang pengganti Rp 15,361 miliar. Sedangkan Tony didenda Rp 10 juta subsider 2 bulan kurungan.
Sayang, putusan kasasi itu tidak dapat dieksekusi karena Lesmana dan Tony telanjur menghilang entah ke mana. Meski demikian, MA, berdasarkan No 27/PID/2004 tertanggal 17 Januari 2007, mengabulkan permohonan PK yang mereka ajukan dan membebaskannya terhitung sejak 6 Agustus 2007.
Setelahnya ada pula nama Sudjiono Timan. Dia sebenarnya pada tingkat kasasi sudah divonis bersalah oleh MA dengan hukuman 15 tahun penjara. Dalam pelariannya, istri Timan mengajukan PK dan dikabulkan MA.
Pada 2013 Sudjiono Timan diputus onslag (lepas) oleh Mahkamah Agung (MA) dari pusaran skandal Bantuan Likuiditas Bank Indonesia (BLBI). Majelis PK saat itu beranggapan kalau kasus ini merupakan ranah perdata meskipun perbuatannya terbukti. Timan pun bebas tanpa sekali pun hadir dalam persidangan.
"Ini semacam pembangkangan dan hukum masih membuka peluang untuk mereka melakukan upaya hukum," ujar pegiat ICW (Indonesia Corruption Watch) Lalola Easter pada Selasa, 28 Juni 2016 silam.
Buntut heboh lolosnya Timan ini melahirkan Surat Edaran MA (SEMA) Nomor 1 Tahun 2012 yang mewajibkan pemohon PK hadir di pengadilan. SEMA ini ditandatangani Ketua MA tanggal 28 Juni 2012.
"Dalam SEMA tersebut, MA menegaskan bahwa permintaan PK yang diajukan oleh kuasa hukum terpidana tanpa dihadiri oleh terpidana harus dinyatakan tidak dapat diterima dan berkas perkaranya tidak dilanjutkan ke (MA)," demikian bunyi SEMA itu.
Hal ini berlaku bagi seluruh peradilan negeri/militer.
"SEMA ini mendasarkan pada Pasal 263 ayat (1) dan Pasal 265 ayat (2) dan (3) KUHAP," ujarnya.
Pasal 263 ayat 1 KUHAP berbunyi:
Terhadap putusan pengadilan yang telah memperoleh kekuatan hukum tetap, kecuali putusan bebas atau lepas dari segala tuntutan hukum, terpidana atau ahli warisnya dapat mengajukan permintaan peninjauan kembali kepada Mahkamah Agung.
Pasal 265 ayat 2 KUHAP berbunyi:
Dalam pemeriksaan sebagaimana tersebut pada ayat (1), pemohon dan jaksa ikut hadir dan dapat menyampaikan pendapatnya.
Pasal 265 ayat 3 KUHAP berbunyi:
Atas pemeriksaan tersebut dibuat berita acara pemeriksaan yang ditandatangani oleh hakim, jaksa, pemohon dan panitera dan berdasarkan berita acara itu dibuat berita acara pendapat yang ditandatangani oleh hakim dan panitera.
Berdasarkan SEMA ini, Djoko Tjandra hadir pada 8 Juni 2020 di PN Jaksel untuk mengajukan PK-nya. Namun setelahnya jejak Djoko Tjandra raib.
Pada 6 Juli 2020, sidang PK itu kembali digelar. Namun, pengacara lagi-lagi menyampaikan surat keterangan sakit Djoko Tjandra dan meminta sidang ditunda selama 2 pekan. Hakim menekankan agar Djoko Tjandra datang dalam persidangan. Hakim menyebut sidang selanjutnya merupakan kesempatan terakhir bagi Djoko Tjandra.
"Perlu dicatat ini kesempatan terakhir ya, kita tidak lagi menunggu-nunggu, dua minggu yang tidak hadir, mohon lagi, kapan selesainya. Sudah tiga kali diberikan kesempatan agar pemohon hadir ya. Kalau tidak hadir lagi kita lihat," kata hakim.
"Majelis sudah mengingatkan agar pemohon supaya hadir pada dua minggu yang akan datang, kalau tidak hadir kita lihat persidangan mendatang," imbuh hakim.
Mengenai pengajuan PK Djoko Tjandra ini pegiat anti-korupsi ICW Kurnia Ramadhana mendesak agar PK itu ditolak. Ketidakhadiran Djoko Tjandra disebut Kurnia menunjukkan tidak kooperatifnya yang bersangkutan terhadap persidangan.
"Djoko Tjandra selama ini diketahui tidak kooperatif terhadap penegakan hukum. Ini terbukti dari tindakannya yang melarikan diri saat putusan pemidanaan dijatuhkan terhadap dirinya, sehingga, majelis hakim semestinya dapat bertindak objektif dan juga turut membantu penegak hukum (Kejaksaan) dengan tidak menerima permohonan PK jika tidak dihadiri langsung oleh yang bersangkutan," kata Kurnia dalam keterangannya, Senin (20/7/2020).
Sidang pun sedianya akan digelar lagi pada hari ini, 20 Juli 2020. Lantas, akankah Djoko Tjandra hadir?
[dtk]