"Forecast-forecast (proyeksi) dari berbagai lembaga bahwa kuartal II ini pertumbuhan ekonomi akan negatif, pertumbuhan di kuartal III kami perkirakan dari BI ada kemungkinan masih negatif," ucap Kepala Departemen Kebijakan Makroprudensial BI Juda Agung dalam diskusi virtual Ikatan Ahli Ekonomi Islam (IAEI), Kamis (23/7).
Sayangnya, Juda enggan mengungkap angka proyeksi dari bank sentral. Namun, ia mengatakan angka proyeksi pertumbuhan ekonomi negatif dalam dua kuartal berturut-turut atau resesi muncul dari lemahnya realisasi penjualan barang dan jasa dari sejumlah korporasi di Tanah Air.
Tak hanya itu, pelemahan juga tercermin dari pertumbuhan di sektor UMKM dan rumah tangga. "Kami monitor terus kondisi korporasi dan rumah tangga memang kalau kita lihat data-data terakhir menunjukkan sales growth dari korporasi sudah negatif," ujarnya.
Maka dari itu, sambungnya, pemerintah dan bank sentral serta lembaga-lembaga lain yang masuk dalam Komite Stabilitas Sistem Keuangan (KSSK) perlu mengambil kebijakan yang cepat dan tepat untuk menghalau kemungkinan Indonesia masuk ke jurang resesi.
Saat ini, beberapa negara mitra dagang dan investasi pun sudah masuk ke jurang resesi, seperti Singapura dan Korea Selatan.
"Ini tentu saja kita balapan dengan waktu bagaimana kebijakan yang sudah diambil oleh pemerintah dan KSSK yang lain bisa efektif sehingga bisa cegah terjadinya risiko kita masuk resesi yang dalam," tuturnya.
Kendati ada peluang Indonesia mengalami resesi, Juda mengaku masih cukup optimis bila pertumbuhan ekonomi Indonesia bisa membaik pada kuartal IV 2020 dan juga 2021. Bahkan, proyeksi laju ekonomi 2021 masih dipasang pada angka 6 persen.
"Kuartal II kelihatannya akan tumbuh negatif, the whole year mungkin ini risikonya ada risiko tumbuh negatif atau pun kalau positif itu positif yang kecil. Kuartal IV kelihatannya akan naik dan tahun depan akan rebound," tuturnya.
Optimisme ini, sambungnya, tercermin dari mulai naiknya permintaan kredit baru dari sektor UMKM ketika kebijakan Pembatasan Sosial Berskala Besar (PSBB) mulai dilonggarkan pada Juni lalu. Sayangnya, permintaan kredit baru dari korporasi masih belum bergairah. (*)