Oleh:Syamsuddin Radjab
RAPAT Dengar Pendapat (RDP) antara Komisi VII DPR RI bersama Holding Pertambangan BUMN (MIND ID) pada Selasa (30/6/2020) lalu meninggalkan noktah hitam perlakuan oknum anggota DPR dengan mitranya. Seolah menjadi pesakitan layaknya persidangan di pengadilan posisi mitra kerja lebih rendah di hadapan anggota DPR dengan penuh kemurkaan menghajar dengan kata-kata dan bahkan mengusir tamu undangannya.
Yang disoal sangat penting, terkait langkah penerbitan Global Bond (surat utang negara) untuk membayar utang ke Freeport sebesar 1 miliar dolar AS di tengah masa pandemik Covid-19 yang akan jatuh tempo tahun depan. Sayangnya, penjelasan penting itu tidak berlanjut setelah teaterikal marah-marah seorang anggota DPR.
Usai sidang diskor untuk shalat Ashar justru yang membahas realisasi CSR (corporate social responsibility) dan berharap agar anggota DPR dilibatkan dalam pelaksanaan CSR di dapil masing-masing anggota Komisi VII DPR RI. Ini yang saya sebutkan sebagai bancakan atau selamatan setelah marah-marah dilanjutkan dengan acara syukuran bagi-bagi alokasi program CSR.
Jika diamati secara urut jalannya RDP akan memberikan kesimpulan yang menggelikan bahwa untuk mendapatkan CSR harus didahului dengan sikap marah-marah, murka, penuh dengan serangan ke mitra agar berujung pada kemudahan mendapatkan jatah CSR untuk anggota Komisi VII DPR RI.
Kesimpulan di atas mungkin keliru namun jalannya sidang RDP menjadi kehilangan substansinya yakni penjelasan soal utang MIND ID akibat akuisisi saham Freeport sebesar 51 persen tahun lalu. Sebagaian berpandangan bahwa langkah Inalum sama dengan membeli milik sendiri karena kontrak Freeport akan berakhir pada tahun depan.
Terlepas dari kontroversi akuisisi Freeport, yang menjadi perhatian publik saat ini bocornya rekaman adanya permintaan CSR dari anggota DPR dalam RDP pada sesi rapat terakhir. Klarifikasi yang dilakukan beberapa anggota Komisi VII DPR yang tampil di media setelah kian membenarkan adanya permintaan dan menganggap suatu kewajaran.
Mendengar jawaban anggota DPR itu kian menggelikan karena kurang memahami gagasan, konsep, dan pelaksanaan program CSR. Permintaan anggota DPR terkait CSR telah memosisikan CSR seperti pemberian bantuan apalagi sekedar minta diikutsertakan dalam pelaksanaan CSR agar citranya terangkat sebagai pejuang aspirasi rakyat yang diwakilinya.
Perilaku ini dapat disamakan dengan kelakar "telur mata sapi", ayamnya punya telur tapi sapi yang punya nama. BUMN-nya punya duit tapi anggota DPR-nya yang punya nama. Bahkan sudah jamak dikenal BUMN itu menjadi sapi perah yang diternakkan oleh para kelompok elit politik baik di lingkungan eksekutif maupun yudikatif.
Mestinya anggota DPR berjuang yang lebih substantif untuk kepentingan rakyat terutama yang terkait dengan legislasi nasional seperti membendung tenaga kerja asing (TKA) yang membanjiri Indonesia, perlindungan dan peningkatan kesejahteraan buruh (Bukan RUU Cilaka), atau percepatan pengesahan KUHP peninggalan Belanda, dan lain-lain.
CSR tidak perlu diperjuangkan karena sudah menjadi program rutin perusahaan terutama yang berplat merah di bawah BUMN. Justru dengan pelibatan anggota DPR dapat dikategorikan suatu persekongkolan perusahaan yang akan merugikan dan merusak reputasi internasional perusahaan terutama Good Corporate Governance (GCG).
Apa yang dilakukan oknum anggota Komisi VII DPR itu, saya mengamatinya bukan saja pada RDP Selasa lalu tetapi hal sama terjadi dalam RDP dengan PT. Pertamina (Persero) pada Rabu (29/1/2020) yang meminta jatah CSR dengan alasan kepentingan dapil yang sudah lama ditunggu. Hal sama meminta pencopotan Sekretaris Perusahaan yang kinerjanya dinilai payah karena belum memberikan CSR.
Memahami Konteks
CSR atau dalam norma perundang-undangan di Indonesia disebut Tanggung Jawab Sosial dan Lingkungan (TJSL) yang terdapat dalam Pasal 74 UU No. 40/2007 tentang Perseroan Terbatas. Tetapi jauh sebelum penormaan dalam UUPT, gagasan penormaan CSR sudah dimulai sejak tahun 1930-an dimana dua profesor hukum AS antara Adolf A. Berle Jr. dan E. Merrick Dodd Jr. berdebat soal tanggungjawab perusahaan.
Berle berpendapat bahwa manajer perusahaan bertanggungjawab kepada pemegang saham sedangkan Dodd berpandangan bahwa korporasi bertanggungjawab kepada masyarakat tempat mereka beroperasi dan pemegang saham. Kedua pandangan ini memberi pengaruh kepada perusahaan dalam perkembangannya sehingga kita mengenal laporan akuntansi dan keuangan serta laporan sustainaibanility report CSR saat ini.
Di tempat lahirnya CSR baik di Inggris, Amerika dan Eropa tidak ditemukan adanya pengaturan yang mewajibakan pelaksanaan CSR dalam bentuk undang-undang seperti Indonesia, apalagi menentukan keharusan persentase anggaran dalam pelaksanaannya seperti harapan anggota DPR.
CSR secara literatur tidak ditemukan satu definisi dan konsep tunggal karena sangat bergantung pada pendekatan dan juga jenis industri suatu perusahaan. Namun jika dilacak akar geneologis-teoritisnya akan ditemukan pertautan sangat dekat dengan konsep negara kesejahteraan (walfare state) yang menekankan Well-Being Happiness, Human Rights dan Social Protection.
Secara internasional, ISO 26000 (2010) menjadi rujukan utama yang telah disepakati sebagai suatu standar dalam soal CSR, dan Indonesia pun sudah mengadopsi standar ini kedalam banyak perusahaan selain standar yang telah ditetapkan masing-masing perusahaan. Selain menjadi pedoman pelaksanaan CSR juga memberikan panduan teknis dalam pelaporan keberlanjutan tahunan.
Lalu apa itu CSR? ISO 26000 memberi jawaban yaitu: "Responsibility of an organization for the impacts of its decisions and activities on society and the environment, through transparent and ethical behaviour that contributes to sustainable development, health and the welfare of society; takes into account the expectations of stakeholders; is in compliance with applicable law and consistent with international norms of behaviour; and is integrated throughout the organization and practiced in its relationships".
Dalam makna yang sederhana seperti di introdusir Radyati (2016), bahwa CSR lebih pada tanggungjawab atas dampak keputusan dan aktivitas terhadap masyarakat dan lingkungan dengan cara transparan dan beretika serta berkontribusi kepada pembangunan berkelanjutan.
Distorsi Norma
Dari pemaknaan di atas, jelas bahwa CSR bukan minta-minta bantuan, apalagi hanya kepentingan pencitraan politik sebagai "pejuang aspirasi dapil" tetapi jauh lebih besar kepentingannya untuk pembangunan berkelanjutan suatu negara yang terintegrasi dalam sistem pembangunan nasional termasuk dalam upaya pencapaian SDG’s yang menjadi program nasional pemerintah dan komitmen internasional.
Dan terutama, CSR ditujukan kepada kawasan operasi perusahaan baik sebagai mitigasi dampak maupun berupa pemberdayaan dan pembangunan masyarakat wilayah sekitar perusahaan dengan program dan bidang-bidang yang sangat dibutuhkann: pendidikan, kesehatan, penguatan lembaga budaya dan kesenian, mendorong inovasi serta infrastruktur mendesak kebutuhan masyarakat.
Karenanya, kalau bersifat permintaan bantuan disilahkan dengan mekanisme yang tersedia sebagai pemohon bantuan dari perusahaan negara dan bukan dengan menunggangi CSR yang dapat mempersempit dan mengecilkan makna CSR sebatas bantuan dan bagi-bagi jatah. Dan jelas ini menciderai pemaknaan dan konsep CSR tujuan lebih tinggi.
Kesalahan memahami konteks CSR bukan saja pada level elit negara tetapi menjalar sampai ke daerah. Pelbagai Perda dibentuk dengan pemaknaan dan konteks yang salah kaprah. Celakanya, CSR justeru dijadikan sebagai salah satu sumber pendapatan daerah menambah pundi-pundi APBD dan alat "memeras" perusahaan oleh politisi lokal.
Dari segi pengaturannya, Ketentuan CSR dalam UUPT mengalami cacat penormaan karena Pasal 74 bertentangan dengan Pasal 1 ayat (3) dalam UU yang sama. Pasal 74 CSR diwajibkan, namun Pasal sebelumnya justeru disebut sebagai komitmen perseroan yang tentu konsekuansi hukumnya berbeda. Merujuk ISO 26000 sebagai standar internasional CSR nampaknya lebih tepat dengan Pasal 1 ayat (3) tersebut.
Namun jika ingin mengatur kewajiban-kewajiban perusahaan pada pelbagai sektor industri berbeda lainnya dapat dibenarkan tetapi tidak dalam pengaturan dan beban kewajiban sepanjang pemaknaan dan konsep dalam CSR sebagaimana berlaku di negara-negara lain.
DPR dan DPD periode lalu juga sudah merancang RUU CSR/TJSL tersendiri dengan kunjungan ke pelbagai negara tetapi hingga akhir periode setelah naskah akademik dan RUU CSR telah disusun oleh para pakarnya namun tak kunjung disahkan sebagai undang-undang. Salah satu alasannya karena belum disepakatinya persentase anggaran yang harus dibebankan kepada perusahaan.
Jika benar demikian, maka DPR telah melakukan kesalahan dua kali secara konsep dan persentase anggaran menandakan motif politik kepentingan pembentuk undang-undang semata yang akan menjadi bancakan dana CSR baik persiapan mendekati musim kampanye politik maupun kerja rodi mengumpulkan pundi-pundi partai.
BACA JUGA
Belajar Dari Rasisme Di Amerika
Perppu Tak Mengatasi Hambatan Pilkada Di Tengah Pandemik
Syamsuddin Radjab
Alumni MM-CSR Universitas Trisakti, mantan Ketua Dewan Daerah Walhi Jakarta.