GELORA.CO - Ketua Dewan Pertimbangan Majelis Ulama Indonesia (MUI), Prof Din Syamsudin, membeberkan tiga syarat seorang pemimpin bisa dimakzulkan berdasarkan pandangan politik Islam. Din mengutip pandangan tokoh politik Islam, Al-Mawardi.
“Di dalam pendapat beberapa politikus Islam, misalnya Al-Mawardi mengatakan, pemakzulan pemimpin mungkin dilakukan jika syarat-syaratnya sudah tertanggalkan,” kata Din Syamsudin dalam diskusi ‘Menyoal Kebebasan Berpendapat dan Konstitusionalitas Pemakzulan Presiden di Era Pandemi Covid-19‘, Senin (1/6).
1. Pemimpin tidak adil atau zalim
Indikator ketidakadilan itu bisa dilihat dari kehidupan masyarakat. Din mencontohkan kesenjangan sosial ekonomi. Pemimpin tidak adil atau zalim hanya menciptakan kelompok lebih kaya dari yang lain
“Ada kesenjangan sosial ekonomi. Ini sangat asasi sekali, karena itulah syarat utama dari seorang pemimpin, jika itu hilang atau berkurang maka sudah bisa dilakukan pemakzulan,” ucap Din.
2. Dungu alias ketiadaan ilmu pengetahuan
Menurut Din, seorang pemimpin harus memiliki wawasan yang luas, intelektual tinggi, dan semua hal yang berkaitan dengan ilmu ketatanegaraan. Hal paling utama adalah pemimpin harus memilih visi tentang cita-cita hidup berbangsa dan bernegara.
“Visi negara itu membawa rakyat pada kebahagiaan dunia dan akhirat. Dalam konteks negara modern, tiada lain visi itu adalah cita-cita nasional sesuatu bangsa. Misalanya bangsa Indonesia; merdeka, berdaulat, bersatu, adil dan makmur,” ucap Din.
Dalam kontes Indonesia, salah satu indikator dalam hal ini adalah presiden tidak memahami pancasila. Salah satu nilai pancasila yang harus dihidupkan adalah kebebasan berpendapat di lingkungan kampus.
“Kalau ada pembangkangan kampus, pemberangusan mimbar akademis, itu sebenarnya bertentangan secara esensial dengan mencerdaskan kehidupan berbangsa. Karena praktik sebaliknya pembodohan kehidupan berbangsa,” ucap Din.
3. Pemimpin tak Lagi Berwibawa
Din menjelaskan, syarat ketiga adalah ketika pemimpin di sebuah negara kekurangan kekuatan serta kehilangan kewibawaan. Kewibawaan dan kekuatan seorang pemimpin bisa dinilai dalam menangani kondisi kritis.
“Pemimpin itu dilihat dari masa kritis, bisa kah dia memimpin?” ucap dia. Kehilangan kekuatan dipengaruhi oleh kekuatan dalam negeri yang hendak ‘menguasai’ negara dan dunia internasional. Menurut Din, pemimpin tidak boleh patuh pada kekuatan asing agar negara tetap berdaulat.
“Saya lihat kehidupan bernegara kira akhir akhir ini membangun kediktatoran konstitusional. Seperti ada produk Perppu, UU, dam sejumlah kebijakan lain, dan juga menimbulkan tidak ada lagi mampu memimpin, maka masyarakat mengkritik,” ucap dia. (*)