GELORA.CO - Anggota Komisi I DPR RI dari Fraksi Partai Nasdem Muhammad Farhan mengendus indikasi korupsi Rp12 miliar usai Dewan Pengawas TVRI melantik Iman Brotoseno sebagai Direktur Utama TVRI pengganti Helmy Yahya.
Setelah Dewas memecat Helmy dan beberapa direktur, kata Farhan, direksi baru menggelontorkan tunjangan kinerja Rp12 miliar. Namun, mereka tidak menjelaskan sumber pendanaan itu.
“Kalaupun ada korupsi, indikasinya kami mempertanyakan ketika Dewas mengklaim telah mencairkan tunjangan kinerja senilai Rp12 miliar bersama dengan pelaksana tugas direksi yang baru diangkat,” kata Farhan.
Farhan mengatakan pihaknya sempat mengecek pendanaan itu ke Kementerian Keuangan. Namun Ditjen Anggaran Kemenkeu menyatakan tidak ada pencairan anggaran untuk tunjangan kinerja.
Penyiar radio itu bilang tunjangan kinerja menggunakan keuangan negara dan harus bisa dipertanggungjawabkan. Sementara sumber Rp12 miliar itu tidak diakui Kemenkeu berasal dari anggaran TVRI senilai Rp328 miliar.
“Mereka mengklaim bahwa direksi yang lama menunda tunjangan kinerja. Pertanyaan selanjutnya adalah Rp12 miliar dapat dari mana?” ucapnya.
Dewas TVRI telah melantik Imam Brotoseno sebagai Dirut TVRI pengganti Helmy Yahya. Kebijakan itu menjadi sorotan karena sejumlah pihak menganggap konflik antara TVRI dan Helmy belum usai.
Selain itu, pada 11 Mei Komisi I DPR RI telah merekomendasikan pemerintah mencopot Ketua Dewas TVRI Arief Hidayat. Namun, Arief justru yang melantik Iman sebagai dirut hari ini.
Sementara itu, Arief Hidayat, membantah tudingan Farhan bahwa ada indikasi korupsi di balik dana tunjangan kinerja sebesar Rp12 miliar usai melantik Dirut baru TVRI.
“Tunjangan Kinerja, anggaran sudah tersedia di DIPA APBN TVRI 2020 sebesar Rp16,8 Miliar. Pembayaran Tunkin dilakukan secara LS, langsung masuk ke rekening masing-masing dari KPPN. Jadi uang tersebut tidak masuk ke kas TVRI,” terang Arief.
Jika Jokowi Setuju, Negara Bermasalah
Farhan mengatakan pemerintah harus bertindak tegas menyikapi hal ini. Dia bilang Komisi I DPR RI telah mengirim rekomendasi terkait permasalahan manajemen TVRI ke Istana.
“Apakah Mensesneg dan Presiden dalam hal ini sebagai pembina utama ASN akan membiarkan proses yang tidak lazim ini? Yang melanggar semua tata kelola pengangkatan ASN dan membiarkan terjadinya pelanggaran tata kelola keuangan negara? Bola ada di tangan mereka,” tandasnya.
Farhan mengatakan hasil seleksi dirut TVRI harus diserahkan ke tim penyelaras akhir. Tim itu ada di bawah Kemensesneg dan Istana, kata Farhan.
“Kalau ternyata Presiden menyetujui langkah yang diambil dewas dan mengabaikan rekomendasi Komisi I DPR RI kepada presiden, maka artinya secara tata kelola administrasi pemerintah kita bermasalah,” kata Farhan.
Farhan melanjutkan pemilihan dirut TVRI kali ini menyimpan sejumlah masalah hukum. Pertama, Dewas TVRI tidak mengindahkan rekomendasi Komisi I DPR RI untuk mengulang pemilihan.
Komisi I, kata dia, menyarankan seleksi diulang karena ketia panitia seleksi tidak memenuhi syarat. UU ASN mewajibkan jabatan itu dipegang Eselon I, tapi Ali Qausen hanya pejabat Eselon III saat ini.
Selain itu, Ketua Dewas TVRI Arief Hidayat juga telah diusulkan Komisi I DPR RI untuk dinonaktifkan. Farhan juga mengingatkan bahwa Komisi ASN meminta seleksi diulang karena tak sesuai prosedur.
“Sekarang itu Dewas kelihatannya melakukan semacam hantam kromo, ‘Babat alas saja deh, yang penting gua ketemu Dirut dulu.’ Nah pertaruhannya nanti adalah bagaimana presiden akan menanggapi masalah ini,” tutur Farhan.
Pria yang juga dikenal sebagai penyiar radio itu berkata DPR RI sudah tidak punya kuasa untuk menyikapi kebijakan Dewas TVRI. Sebab mereka sudah memberikan teguran dan melayangkan rekomendasi ke Istana.
“Kalau kita main bola, kita ini adalah hakim garis. Hakim garis sudah angkat bendera semua, yang meniup peluit siapa? Wasit lah, di Sesneg dan Istana,” tutupnya. (*)