GELORA.CO - Media internasional kembali membahas sikap agresif Tiongkok di Laut China Selatan (LCS). Posisi Indonesia dan negeri jiran Malaysia pun disorot karena memiliki kepentingan wilayah dalam isu ini.
Pada artikel CNN International, pakar maritim menilai China mengadopsi taktik yang lebih agresif. Ini dikhawatirkan memicu gesekan baru dengan Indonesia dan Malaysia.
Pakar mengingatkan bahwa China mengandalkan pulau buatan untuk kehadiran militer mereka.
"(Pulau-pulau) itu menyediakan pangkalan depan untuk kapal-kapal China, ini secara efektif menjadikan Malaysia dan Indonesia menjadi negara-negara garis depan," ujar Greg Polling, direktur Asia Maritime Transparency Institute (AMTI).
Manuver China tak terlepas dari ambisi negara itu untuk mengklaim Laut China Selatan sebagai wilayah mereka dengan konsep Sembilan Garis Putus. Konsep itu tak diakui Konvensi Hukum Laut PBB (UNCLOS).
Kementerian Luar Negeri menegaskan tidak gentar dengan klaim itu atau dengan China yang makin agresif.
"Indonesia tidak memiliki permasalahan perbatasan laut dengan RRT. Indonesia juga tidak mengakui klaim China atas ZEEI (Zona Ekonomi Eksklusif Indonesia) berdasarkan klaim yang tidak dikenal oleh UNCLOS," ujar (Plt.) jubir Kemlu Teuku Faizasyah kepada Liputan6.com, Senin (8/6/2020).
Pihak Kemlu juga menyebut pihak yang mengganggu kestabilan di Laut China Selatan merupakan masalah bersama bagi negara-negara di wilayah ini.
Isu Laut China Selatan dan klaim sepihak China memang tak hanya menjadi isu dengan Indonesia. China sempat diseret oleh Filipina ke pengadilan arbitrase internasional akibat klaim Laut China Selatan.
Pada 2016, kasus itu dimenangkan oleh Filipina dan menegaskan China tak berhak mengklaim sumber daya Laut China Selatan berdasarkan konsep Sembilan Garis Putus.
Awal tahun ini, sempat ada perdebatan mengenai nama Laut China Selatan. Ini lantaran nama Laut China Selatan dianggap membuat China secara psikologis merasa memiliki perairan Natuna.
Menanggapi hal ini, Pengamat Hukum Internasional UI Hikmahanto Juwana mengatakan, inti persoalan sengketa Natuna terletak pada perbedaan dasar klaim yang dipakai Indonesia dan China. Bukan nama perairan itu.
Dalam klaim atas kepemilikan perairan Natuna, Indonesia menggunakan UNCLOS. Sementara China berpegang pada sembilan garis putus-putus atau nine dash line.
Karena itu, menurut dia, perubahan nama perairan Natuna tidak ada dampaknya. Jika ditujukan sebagai alat untuk menegaskan kepemilikan Indonesia. Dia membenarkan bahwa nama seharusnya bukan persoalan mendasar terkait penyelesaian sengketa Natuna.
"Betul (nama perairan bukan persoalan)," singkat dia.
Dia menyampaikan, jika menilik sejarah, sebenarnya sudah ada pergantian nama perairan Natuna. Indonesia telah mengubah namanya dari Laut China Selatan, menjadi Laut Natuna Utara.
"Kan sudah (ganti nama). Namanya jadi (Laut) Natuna Utara," ungkapnya.
Diketahui, pada 2017, Pemerintah Indonesia meresmikan penamaan wilayah perairan di bagian utara Natuna sebagai Laut Natuna Utara. Menggantikan Laut China Selatan yang sebelumnya digunakan. Ada pun untuk kepentingan pencatatan resmi secara internasional dilakukan melalui forum khusus pencatatan nama laut, yakni International Hydrographic Organization (IHO).
Langkah Indonesia ini, kata dia, menuai protes dari China. "Tapi diprotes China. Karena China merasa itu miliknya," jelas dia.
Kehadiran nama Laut Natuna Utara pun tidak berdampak. Sebab pasca pergantian nama, China tetap mengklaim perairan Natuna sebagai miliknya. (*)