Oleh:Eka Sapta Wijaya Galgendu
SITUASI dan kondisi bangsa negara di tengah ancaman nyawa pandemik Covid-19 serta dampak ambyarnya sandang pangan masyarakat dan berkembangangnya masalah sosial politik.
Tetapi para pemimpin bangsa negara ini masih menyuguhkan perhiasan tulisan indahnya kotak pandora Pancasila kepada presiden dan rakyat.
Alangkah pinter keblinger. Pandai tapi lupa diri sehinga menjadi rendah di mata rakyat dan negara lain.
Rakyat pada kondisi sekarang tidak membutuhkan tulisan yang indah mengenai Pancasila.
Tapi seperti pidato Presiden Jokowi: Bumikan Pancasila adalah lakukan dan kerjakan apa yang ada pada sila-sila Pancasila untuk menjadi dasar pondasi pandangan hidup dan perilaku sehari-hari masyarakat bangsa Indonesia. Terutama para pemimpin bangsa negara Indonesia.
Petani sudah pancasilais. Buruh di pasar pasar tradisional sudah pancasilais.
Harapan Anak Bangsa
Saya tidak ingat tahunnya, apalagi harinya. Pagi hari sekitar jam 07.00 di Rumah Ciganjur. Sewaktu akan menghadap Gus Dur, di depan saya ada seseorang yang tegap, gagah dengan celana training panjang dan berkaos olah raga serta bersepatu kets datang dan berbicara dengan Gus Dur antara 5-7 menit.
Kemudian bergegas menuju mobilnya dan pergi. Beliau bernama Bapak Luhut Binsar Pandjaitan.
Kita juga tidak ingat tahunnya, apalagi harinya. Yang saya ingat sewaktu kita menjemput Gus Dur di Bandara Adi Sucipto Jogyakarta. Untuk menghadiri acara Tumpeng Sedekah Bumi di Solo. Sedangkan saat itu sudah ada panitia yang lain dan punya harapan yang sama untuk mengundang Gus Dur hadir pada hari dan jam yang sama di Purwokerto.
Kemudian Gus Dur mengajak kita untuk berkumpul di rumah Bapak Mahfud MD yang dekat bandara. Sampai di sana yang ada Ibu Mahfud MD, beliau yang menyiapkan minuman dan makanan kecil.
Setelah berembug musyawarah dan mufakat. Akhirnya diputuskan oleh Gus Dur dengan latar belakang pemahaman filsafat alam yang kuat mengenai matahari yang terbit dari timur kemudian tenggelam ke barat. Maka Gus Dur memutuskan ke Solo dulu, dilanjutkan ke Purwokerto.
Saya juga belum kenal Bapak Rizal Ramli. Tapi kita pernah datang sekali di acara diskusi rutin beliau di Komplek Duta Merlin Jl. Gajah Mada, Jakarta Pusat.
Kita kebetulan hadir dan duduk satu meja, sewaktu Gus Dur berkunjung ke Solo dan bertemu dengan Bapak Jokowi. Sewaktu masih menjadi Walikota di Solo.
Saat Gus Dur berbicara dengan Pak Jokowi. Kita pun ikut mendengarkan dan pastinya kunjungan beliau berhubungan dengan kepemimpinan, rakyat, bangsa dan negara. Walaupun kadang dikemas dalam bahasa nasihat dan guyonan.
Tapi tangan dingin Gus Dur sejak pertemuan itu sudah mulai menata untuk masa depan kepemimpinan politik Bapak Jokowi.
Tangan dingin Gus Dur juga menata untuk Bapak Luhut Binsar Pandjaitan, menata untuk Bapak Mahfud MD, menata untuk Bapak Rizal Ramli.
Maka beliau-beliau juga punya kekuatan energi yang sangat kuat dari kepribadiannya. Sehingga terus mengasah pikir untuk kepentingan masyarakat, bangsa dan negara.
Hasil dari mengasah pikir itu menjadikan pemikiran-pemikiran yang tajam. Kalau ibarat sebilah pisau, maka pemikirannya bisa untuk memotong, mengiris dan menyayat.
Tetapi sekarang ini bukan saatnya untuk berdebat dengan pemikiran-pemikiran tajam yang bisa memotong, mengiris, menyayat lawan bicara yang kita butuhkan dulu.
Sekarang ini yang kita butuhkan adalah tangan dingin untuk menata masa depan bangsa negara Indonesia.
Maka saya ingin mencoba untuk mengetuk pintu hati beliau-beliau.
Pintu hati yang di dalamnya berisi biji-biji kehidupan, kasih sayang, kesabaran dan rasa cinta terhadap sesama anak bangsa negara.
Sambil menunggu tangan dingin Presiden Jokowi menata masa depan Indonesia.
Berjalanlah walau tidak ada jalan. Karena dengan berjalan, engkau sudah membuka jalan.
Amanat Gus Dur di PP Tebuireng.
Rahayu, rahayu, rahayu.
(Filsafat spiritual kepemimpinan.)