Tak Ingin Pilpres 2019 Terulang, PAN Tolak <i>Presidential Threshold</i>

Tak Ingin Pilpres 2019 Terulang, PAN Tolak Presidential Threshold

Gelora News
facebook twitter whatsapp

GELORA.CO - DPR saat ini sedang melakukan revisi Undang-Undang (UU) Pemilu Nomor 7/2017 tentang Pemilu. Salah satunya yang dibahas adalah soal ambang batas pencalonan presiden (presidential threshold) di Pemilu 2024 mendatang.

Menanggapi hal itu, Anggota Fraksi Partai Amanat Nasional (PAN) Guspardi Gaus mengusulkan, supaya tidak adanya ambang batas pencalonan presiden (presidential threshold) di Pemilu 2024 mendatang.

Menurut Guspardi Gaus harus dihilangkan adanya ambang batas presidential threshold sebesar 20 persen kursi DPR atau mendapat 25 persen suara sah nasional.

“Penetapan presidential threshold ini tidak sesuai dengan semangat reformasi dan mencerminkan kemunduran demokrasi di Indonesia,” ujar Guspardi kepada wartawan, Senin (8/6).

Anggota Komisi II DPR ini menambahkan partai-partai yang tidak lolos ke Senayan juga perlu diberikan tempat untuk bisa mengajukan calon presidennya. Sehingga tidak perlu adanya presidential threshold tersebut.

“Sebaiknya dihapuskan saja presidential threshold ini dan paling tidak partai yang lolos ke Senayan seharusnya diberikan hak mengajukan calon presiden dan wakil presiden,” katanya.

Menurut ‎Guspardi, semakin banyak calon di Pilpres maka akan semakin memperbanyak pilihan bagi rakyat yang akan menentukan siapa Kepala Negara pilihannya ke depan.

“Rakyat punya hak untuk memilih mana calon terbaik tidak perlu direkayasa kita harus seleksi dulu melalui ambang batas. Kalau parpol yang baru pertama kali itu tidak punya hak (mengusung calon Presiden) saya kira itu cara pandang dalam demokrasi yang tidak pas,” tegasnya.

Menurutnya, kontestasi Pilpres 2019 harusnya menjadi pelajaran berharga bahwa penetapan presidential threshold telah mengakibatkan rakyat kita terkotak menjadi dua kubu yang saling behadapan.

“Pada masa kampanye Pilpres 2019, kita masih terngiang dalam ingatan, soal panas dinginnya suasana politik saat itu,” paparnya.

Itu terjadi karena di Pilpres 2019 hanya ada dua pasangan capres dan cawapres. Hal itu kemudian membuat tensi mendidih di kalangan arus bawah. Dua kubu saling serang di publik dan di media sosial. Sehingga hal ini perlu menjadi pelajaran.

“Kedua kubu paslon saling berhadap-hadapan membela paslon masing-masing. Akibatnya terjadi berbagai  persekusi, timbulnya fitnah, merajalelanya hoax, dan lain-lain. Lalu dilanjutkan dengan narasi-narasi yang menjatuhkan pasangan lawan atau kubu sebelah,” tegasnya.

Sikap semacam ini dapat menciptakan konflik horizontal maupun vertikal yang berujung pada tindak kekerasan ditengah-tengah masyarakat. Pemilu presiden seharusnya adalah arena kontestasi politik yang fungsinya bukan hanya untuk mencari siapa menang siapa kalah.

“Padalah pemilu adalah sarana untuk melihat potensi dan kemungkinan munculnya calon-calon pemimpin bangsa alternatif,” ungkapnya.

Oleh sebab itu, dihapuskannya aturan mengenai presidential threshold dapat menjadi salah satu jalan keluar guna mencegah polarisasi masyarakat.

“Jangan sampai pesta demokrasi yang seharusnya disikapi dengan kegembiraan justru menciptakan permusuhan yang berkepanjangan di antara anak bangsa,” pungkasnya. [jp]
BERIKUTNYA
SEBELUMNYA
Ikuti kami di Google Berita