GELORA.CO – Pada 17 September 1948, PKI menculik pimpinan Pesantren Sabilil Muttaqien, KH Imam Mursyid Muttaqien, usai salat Jum’at. KH Mursyid adalah orang yang berjasa membantu anggota BPUPKI (Badan Penyelidik Usaha-usaha Persiapan Kemerdekaan Indonesia ) dan PPKI (Panitia Persiapan Kemerdekaan Indonesia), KH Wahid Hasyim, merumuskan konsep piagam Jakarta. Penangkapan para kiai oleh PKI berlangsung hingga malam hari.
Abdul Mun’im DZ dalam bukunya “Benturan NU-PKI 1948-1965” menjelaskan, PKI menyadari bahwa pesantren adalah saingan terkuat dalam melakukan revolusi sosial. Maka itu, mereka pertama kali melumpuhkan pesantren.
Penangkapan kiai pesantren berlanjut pada 19 September 1948. Kala itu KH Muhammad Nur ditangkap, Kiai pesantren seperti Ustadz Ahmad Baidlowi, Muhammad Maidjo, Rofi’i Tjiptomartono dan lain sebagainya.
“Mereka semuanya dibantai dimasukkan sumur bersama ratusan korban lainnya. Keseluruhan kiai di lingkungan pesantren 23 Takeran yang menjadi korban sejumlah 14 orang. Karena jumlahnya banyak mereka diikat menjadi satu sehingga mudah digiring ke lubang pembantaian. Mereka tidak diikat dengan rantai, melainkan dengan tali kulit bambu yang sangat tajam sehingga bila mereka bergerak kulit mereka tersayat,” tulis Abdul Mun’im dalam bukunya.
Perburuan terhadap para ulama tak berhenti. Pimpinan pesantren Kebonsari, KH Imam Shafwan, bersama kedua anaknya, K Zubair dan K. Abu Bawani, dibantai FDR-PKI saat mengisi pengajian. Sang kiai mengalami penyiksaan yang keji, kedua anaknya tewas dan ia disiksa dengan berbagai siksaan.
“Karena PKI sudah jengkel dan tidak sabar lagi kemudian dimasukkan hidup-hidup dalam sumur, dalam kondisi terjepit itulah KH Imam Shafwan mengumandangkan adzan yang disaksikan oleh beberapa santrinya, tetapi kemudian dikubur dalam keadaan masih hidup oleh pasukan Pesindo-PKI,” tulis Abdul Mun’im.
Intinya, Abdul Mun’im menegaskan dalam bukunya bahwa PKI menarget semua pesantren, terutama pesantrenn yang dipimpin oleh kiai kharismatik. Pesantren Tegal Rejo yang didirikan oleh para Prajurit Pangeran Diponegoro di Magetan yang dipimpin oleh Kiai Imam Mulyo itu tidak lepas dari serbuan PKI.
“Dari kalangan pejabat pemerintah juga banyak yang menjadi korban keganasan PKI tidak sempat menyelamatkan diri, karena pembantaian dilakukan secara serentak di kota-kota sekitar Madiun, mulai dari Magetan, Ponorogo, Trenggalek, Ngawi dan Tulungagung. Terutama daearah-daerah yang selama ini menjadi basis PKI,” tulis Abdul Mun’im. (*)