GELORA.CO - Pakar Hukum Tata Negara, Refly Harun, turut berkomentar mengenai diskusi pemecatan presiden di UGM yang terpaksa dibatalkan usai adanya ancaman teror kepada pembicara dan panitia.
Refly berpendapat, diskusi yang digelar komunitas mahasiswa hukum tata negara FH UGM, Constitutional Law Society (CLS), tidak ada yang aneh. Sebab, diskusi tersebut bertujuan untuk mengetahui apakah ketidakpuasan sebagian masyarakat terhadap cara pemerintah dalam menangani corona bisa menjadi alasan untuk memberhentikan presiden.
Ia pun menyayangkan ada pihak-pihak, termasuk dari salah satu dosen di UGM, yang menganggap diskusi tersebut sebagai gerakan makar.
"Apa yang dilakukan mahasiswa dalam koridor akademik, kalau dikatakan gerakan makar sangat keterlaluan. Saya miris karena ini mimbar akademik. Tidak sepantasnya di era reformasi ada larangan mengadakan mimbar akademik. Kampus harus tetap kritis, tidak boleh tumpul. Apalagi temanya sebenarnya masih dalam konstitusi," ujar Refly dalam kanal YouTubenya yang diunggah pada Senin (1/6).
Menurut Refly, jika pembahasan mengenai pemecatan presiden dilarang karena kerap dituding sebagai gerakan makar, seharusnya tak perlu ada aturan pemakzulan sebagaimana Pasal 7A UUD 1945.
"Kalau tidak boleh bicara pemberhentian atau impeachment presiden, tidak perlu ada ayat-ayat konstitusi yang bicara pemberhentian presiden," ucapnya.
Ia pun meminta seluruh pihak, khususnya pemerintah, tak perlu paranoid terhadap diskusi semacam itu. Sebab, syarat-syarat pemberhentian presiden tidak mudah.
"Sehingga meminta presiden mundur sah-sah saja dan konstitusional, yang tidak boleh memaksa presiden untuk mundur," kata Refly.
Untuk itu, lanjut Refly, jangan sampai kejadian teror terhadap diskusi dengan tema pemberhentian presiden kembali terulang. Ia pun meminta polisi mengusut tuntas adanya ancaman dan teror kepada narasumber dan peserta diskusi tersebut.
"Yang perlu dijaga jangan sampai warga negara melanggar hukum, tapi berpikir kritis dan ilmu pengetahuan, tahu hal-hal substantif termasuk pemberhentian presiden tidak perlu dikhawatirkan," kata Refly.
"Kita ingin republik ini cerdas, warga negaranya cerdas. Bukan republik yang membungkam warga negaranya, membodohi warga negaranya dan yang membuat sempit ruang akademik dan kebebasan berekspresi," tutupnya.
Constitutional Law Society (CLS) FH UGM sebelumnya berencana menggelar diskusi bertajuk 'Persoalan Pemecatan Presiden di Tengah Pandemi Ditinjau dari Sistem Ketatanegaraan' pada Jumat (29/5) secara virtual. Namun karena menuai polemik, judul diskusi diubah menjadi 'Meluruskan Persoalan Pemberhentian Presiden Ditinjau dari Sistem Ketatanegaraan'. Pada akhirnya, diskusi tersebut dibatalkan usai narasumber dan panitia diskusi menerima ancaman teror, bahkan pembunuhan. (*)