Oleh:Chusnatul Jannah
UTANG Indonesia diapresiasi oleh Bank Dunia. Kata Menko Maritim dan Investasi, Luhut Binsar Panjaitan, Bank Dunia sangat mengapresiasi pengelolaan utang Indonesia.
Bank Dunia juga ikut memuji kinerja Sri Mulyani sebagai menteri yang sangat cermat. Tingkat utang yang dikelola Indonesia dinilai masih hati-hati.
Karena pujian itu, Luhut pun menegaskan siapa saja yang mengkritik utang Indonesia agar menemui dirinya, bukan di media sosial. Pesan ini pun ditanggapi beberapa orang sebagai tantangan untuk berdebat. Salah satu tokoh yang paling aktif mengkritik utang Indonesia adalah Rizal Ramli.
Dalam akun Twitternya, Rizal Ramli menyebut Sri Mulyani sebagai ratu utang. Ia mengatakan utang pemerintah setahun naik Rp 347 triliun. Nyaris 1 triliun tiap hari. "Kok prestasi tertinggi ngutang? Wong Menkeu "Ratu Utang" dipuja2 kreditor karena berikan bunga tertinggi di ASEAN," Katanya dalam cuitannya.
Apa yang disampaikan Rizal Ramli adalah hal yang logis. Bagaimana bisa utang sebanyak itu dibilang masih aman? Layakkah dikatakan berprestasi jika solusi ekonomi untuk tutupi defisit anggaran dengan berutang?
Dilansir dari detikfinance, 20/6/2020, Kementerian Keuangan sendiri mencatat jumlah utang pemerintah telah menyentuh Rp 5.172,48 triliun per akhir April 2020. Dari catatan detikcom, angka ini tercatat dalam rilis APBN kita edisi Mei 2020 yang dipublikasikan Kementerian Keuangan pada Rabu (20/5).
Angka tersebut turun Rp 20,08 triliun dibandingkan bulan sebelumnya yang mencapai Rp 5.192,56 triliun. Namun bila dibandingkan dengan tahun sebelumnya atau secara year on year (YoY), realisasi utang pemerintah terpantau naik Rp 601,11 triliun dari posisi April 2019 yang totalnya Rp 4.528,45 triliun.
Dasar gemarnya pemerintah berutang adalah "utang adalah bukti kepercayaan". Dengan mantra itu, pemerintahan Jokowi terus-menerus menumpuk utang dan tentunya dengan bunga yang tidak sedikit.
Saat defisit, menteri yang dinilai sebagai menteri terbaik itu akan mencari pemasukan hingga ke ujung nusantara. Yaitu, menarik pajak di sektor yang bisa dikenai pajak. Dari mulai memajaki youtuber, selebgram, Netflix, Spotify hingga game online.
Produk digital seperti langganan streaming musik, streaming film, aplikasi dan game online dari dalam dan luar negeri akan dikenakan PPN 10%. Pemungutan PPN itu akan berlaku mulai 1 Juli 2020.
Banyak utang, harus banyak sektor yang bisa ditarik pajaknya. Sedikit simpulan dari kebijakan bu menteri yang dinobatkan sebagai menteri terbaik. Terbaik dalam berutang. Tercermat dalam penarikan pajak ke rakyat. Pajak adalah sumber devisa bagi negara dalam sistem kapitalisme. Jadi, jangan kaget kalau pajak-pajak terus menghantui kita.
Meski utang dalam konteks negara tidak sama dengan utang bagi individu dan korporasi, utang tetaplah utang. Jika individu dan korporasi berutang, maka barang-barang berharga akan disita untuk membayar utangnya. Namun, bila negara tak mampu bayar utang dan bunganya? Apakah negara akan disita? Tentu tidak semudah itu.
Negara punya kedaulatan. Hanya saja, wujud pembayaran itu bisa saja berupa kekayaan alam yang bisa diperjualbelikan. Atau proyek-proyek strategis jangka panjang seperti infrastruktur misalnya. Siapa tahu begitu.
"Jangan berlebihan. Utang Indonesia masih terbilang kecil dibanding Jepang, Cina atau negara maju lainnya". Justru itu, karena Indonesia negara berkembang, maka jerat utang bisa menjadi jebakan. Jebakan untuk terus bergantung pada utang. Kecanduan lalu tak bisa melepaskan diri dari utang. Pada akhirnya, Indonesia bebas utang bagai mimpi.
Pujian itu melenakan. Dipuji menteri terbaik, eh faktanya malah ketagihan utang. Karena negara kreditur diuntungkan dengan utang itu. Sementara sebagai debitur, tetap tak banyak ambil keuntungan.
Diapresiasi karena sangat hati-hati mengelola utang, malah senang. Padahal, pujian itu tidak gratis. Punya maksud dan tujuan. Tujuannya, Indonesia tetap menjadi langganan Bank Dunia untuk berutang.
Bank Dunia itu lembaga pemberi utang, wajarlah bila mereka memuji setinggi langit. Dengan dipuji, maka customer utang berharap kembali mengutang.
Siapa yang paling terdampak atas utang yang menggunung ini? Tentu saja rakyat. Sederhananya, pemerintah yang berutang, rakyat yang diminta menanggungnya. Dan rakyat hanya bisa pasrah tanpa berbuat apa-apa. Sebab, pembayaran utang negara pada akhirnya dilegitimasi atas nama kebijakan. Kalau kebijakan sudah diketok palu, ya itu berlaku bagi semua rakyat Indonesia.
Utang adalah jebakan khas ala kapitalis. Jangan silau dengan predikat dan pujian yang khayali. Semua itu hanya untuk menguntungkan kantong-kantong kapitalis dengan skema bantuan berupa utang, dana hibah, atau investasi.
Bila negeri ini punya political will mengurus negara, tentu utang bukan satu-satunya menutupi defisit anggaran. Kekayaan alam negeri ini sangat banyak, tambangnya berlimpah, tapi tak punya kuasa mengelolanya secara mandiri.
Sumber daya alam itu justru dikapitalisasi dan diliberalisasi. Tak ayal, Indonesia seperti ayam yang mati di lumbung padi. Kaya tapi tak punya. Kaya tapi tak leluasa. Harta sendiri malah diserahkan pada asing atau swasta.
Inilah konsekuensi bila mengadopsi ekonomi kapitalis-liberal. Negara bisa dinego sesuai kepentingan kaum kapital. Indonesia harus bisa menanggalkan kapitalisme yang jelas menyengsarakan negeri ini. Apa bisa? Bisa. Asalkan berkomitmen kuat merevolusi sistem kapitalisme yang sudah ambruk.
(Lingkar Studi Perempuan dan Peradaban)