Pilkada 2020 Di Era New Normal

Pilkada 2020 Di Era New Normal

Gelora Media
facebook twitter whatsapp

Oleh:KRMT Roy Suryo Notodiprojo, M.Kes
SEBAGAIMANA diketahui bersama, Pelaksanaan Pilkada (Pemilihan Kepala Daerah) di tahun 2020 ini sempat mengalami pengunduran jadwal karena terjadinya Pandemi Covid-19 yang melanda di seantero dunia, termasuk di Indonesia.
Dalam rencana sebelumnya sedianya KPU hanya akan menunda beberapa tahapan pilkada saja dan jadwal pemilihan tetap pada 29 September 2020. Namun, karena perkembangan terkini Pandemi Covid-19 tersebut, akhirnya diputuskan untuk menunda tanggal pemilihannya pula.

Pilkada 2020 seharusnya dilaksanakan pada hari Selasa 29 September 2020, namun dalam perkembangannya tersebut, hari Rabu 9 Desember 2020 menjadi pilihan yang dimungkinkan saat ini. Keputusan tersebut sudah diambil oleh Komisi II dalam Rapat Kerja bersama Mendagri, KPU, Bawaslu & DKPP hari Selasa, tanggal 14 April 2020 lalu.

Meski tampaknya masih lama hari pelaksanaannya dari sekarang, namun sebenarnya tahapan-tahapan Pilkada yang akan dilaksanakan tersebut sudah memasuki fase yang krusial karena sudah dimulai sejak sekarang.

Oleh karena itu sudah benar KPU telah menerbitkan Surat Edaran (SE) No. 20/2020 tentang Pelaksanaan Pilkada Serentak Lanjutan Tahun 2020 dalam Kondisi Bencana Nonalam Covid-19 yang sudah ditandatangani hari Jumat, 19 Juni 2020 minggu lalu.

Edaran tersebut menginstruksikan seluruh pihak yang terlibat dalam Pilkada 2020, seperti penyelenggara, peserta dan pemilih, diwajibkan mengutamakan prinsip kesehatan dan keselamatan. Mereka wajib menerapkan protokol kesehatan pencegahan Covid-19 dalam tiap tahapan Pilkada 2020.

Tahapan yang memerlukan protokol kesehatan itu diantaranya, tahapan pertemuan langsung, tahapan yang potensi mengumpulkan orang, penyampaian berkas atau perlengkapan secara fisik, dan Kegiatan yang dilaksanakan dalam ruangan. Para petugas penyelenggara pemilu yang akan melaksanakan tugasnya wajib mengenakan Alat Pelindung Diri (APD), setidak-tidaknya masker.

Meski demikian, para petugas itu wajib memakai APD yang lebih lengkap, seperti sarung tangan sekali pakai, masker, dan pelindung wajah (face shield) saat melaksanakan tahap verifikasi faktual dukungan calon kepala daerah perseorangan, pencocokan dan penelitian (coklit), serta pemungutan dan penghitungan suara.

Selain itu, para penyelenggara pemilu wajib menjaga jarak satu dengan yang lain minimal 1 meter bila digelar pertemuan tatap muka langsung. Dalam setiap tahapan, para penyelenggara juga diminta tak berjabat tangan atau kontak fisik satu sama lain.

Tak hanya itu, para petugas diwajibkan sering mencuci tangan dengan sabun dan air mengalir, mengecek suhu tubuh, dan membawa alat tulis pribadi sebagaimana anjuran yg sudah sering disampaikan oleh Gugus Tugas Nasional Percepatan Penanganan (GTNPP) COVID-19 dalam setiap kesempatan publikasinya selama ini, baik melalui Jubir Resmi Pemerintah dr. Achmad Yurianto atau Anggota Tim Komunikasi GTNPP C-19 dr Reisa Broto Asmoro.

Namun sebenarnya aturan KPU tersebut belum bisa langsung efektif diberlakukan karena sebagaimana lazimnya aturan perundang-undangan yang berlaku & memiliki konsekuensi hukum, seharusnya tertuang dalam Peraturan KPU (PKPU) khusus tentang Kondisi Bencana Nonalam yang hingga kini belum juga diundangkan. KPU masih menunggu rapat konsultasi dengan Komisi II DPR serta harmonisasi dengan Kemenkumham untuk mengesahkan hal tersebut. Padahal, tahapan Pilkada 2020 sendiri telah berjalan semenjak bulan Juni 2020 ini.

Di sisi lain Bawaslu juga bagus sudah mengeluarkan Rekomendasi Pelaksanaan Pilkada Serentak 2020 tersebut berdasarkan Indeks Kerawanan Pemilu (IKP) Pilkada 2020 termutakhir pada hari Selasa 23 Juni 2020 kemarin yang diharapkan akan bisa memastikan penyelenggara, peserta, pendukung, dan pemilih menerapkan protokol kesehatan dalam pelaksanaan tahapan verifikasi faktual calon perseorangan dan pemutakhiran dan pemilih nantinya.

Sesuai dengan kompetensi selama ini yang ada, dalam hal ini lebih disarankan agar GTNPP C-19 bisa memberikan arahan untuk semua pihak menerapkan penggunaan TIK (Teknologi informasi & Komunikasi) yang sesuai dengan kondisi geografis dan kendala yang dialami oleh penyelenggara pemilu, karena sebagaimana diketahui juga Indonesia memiliki heterogenitas dalam hal ini, mengingat belum meratanya infrastuktur TIK dalam semua level wilayah yang ada.

Secara teknis Pilkada 2020 ini akan digelar di 270 daerah, yang secara rinci meliputi 9 provinsi, 37 kota, dan 224 kabupaten. Dimana 9 provinsi tersebut, yaitu Sumatra Barat, Jambi, Bengkulu, Kepulauan Riau, Kalimantan Tengah, Kalimantan Selatan, Kalimantan Utara, Sulawesi Utara, dan Sulawesi Tengah. Sementara, 37 kota yang menggelar pilkada tersebar di 32 provinsi. Inilah yang perlu disinergikan dgn data Peta Zonasi Risiko tingkat kerawanan Covid-19 dari GTNPP C-19 yg selama ini menjadi acuan semua pihak selama ini, dimana ada daerah-daerah yg masuk kategori hijau, kuning, oranye hingga merah.

Meski dari 9 povinsi diatas kita tidak melihat daerah-daerah yang selama ini menjadi fokus perhatian masyarakat karena masuk kategori warna merah, misalnya DKI-Jakarta, Jawa Timur, Sulawesi Selatan dan sebagainya karena kebetulan disana tidak diselenggarakan pilkada tingkat provinsi, namun 37 kota & 224 kabupaten ini masuk semua dalam 32 provinsi di Indonesia.

Jadi selain bisa terjadi transformasi secara lokal, kebiasaan partai-partai politik pendukung utk melakukan mobilisasi massa dan pergerakan "tim sukses" yang didukung pusat ini berpotensi membuka daerah-daerah tersebut yang awalnya masuk kategori hijau bisa menjadi klaster kuning, oranye bahkan merah.

Dalam paparan terbarunya di depan Presiden Joko Widodo di Istana Negara pada 24 Juni 2020, Ketua Tim Pakar GTNPP C-19 Prof. Wiku Bakti Bawomo Adisasmito juga menyampaikan kemajuan yang sudah dicapai Indonesia sejauh ini, dimana terjadi peningkatan Area Peta Zonasi Risiko Kab/Kota yng terdampak Covid-19, mulai dari 46,70 (31 Mei 2020), 44,36 persen (7 Juni 2020), 52,53 persen (14 Juni 2020) hingga 58,37 persen (21 Juni 2020).

Secara lebih detail lagi jika dilihat risikonya masing-masing, maka jumlah kabupaten/kota yang terdampak sebagai berikut: 57 tinggi, 157 sedang, 188 rendah dan 112 tidak ada kasus/tidak terdampak (data per 21 Juni 2020).

Oleh karena itu pula sebagaimana kondisi dalam dunia pendidikan Indonesia yang sekarang ini (dipaksa) melakukan percepatan dalam penggunaan TIK, maka sudah seharusnya format ataupun tahapan-tahapan pilkada, terutama yang berpotensi terjadi pengumpulan dan mobilisasi massa besar, misalnya tahapan kampanye atau tatap muka, yang biasanya diselenggarakan secara langsung, harus bisa dilakukan secara online menggunakan teknologi yang ada dan berani dilakukan aturan tegas pengawasannya.

Ini sebagaimana ketegasan Ketua GTNPP C-19 Letjen TNI Doni Monardo beberapa saat lalu saat melakukan tindakan tegas ketika terjadi fenomena mudik saat Libur Idul Fitri kemarin yang alhamdulillah bisa berlangsung dengan aman dan tidak terjadi lonjakan besar ketika momentum tersebut terjadi.

Meski di ujung Ppilkada yang masih sangat krusial yakni pencoblosan atau pemilihan suaranya kemungkinan masih tetap diminta harus dilaksanakan secara langsung, alias belum akan dilakukan terobosan penggunaan TIK untuk berani dilakukan secara online, karena akan berpotensi menimbulkan persepsi yang kurang menguntungkan kalau terjadi hal-hal yang dikhawatirkan oleh masyarakat, misalnya kecurangan dalam sistem TIK yang digunakan, namun setidaknya dalam tahapan-tahapan sebelumnya masih bisa ditekan semaksimal mungkin pelaksanaan Pilkada serentak 2020 ini agar tidak menjadi faktir yang merugikan di tengah-tengah upaya kita bersama memerangi Covid-19 di bawah komando GTNPP C-19 selama ini.

Kesimpulannya, kita masih punya waktu untuk melakukan yang terbaik dengan memanfaatkan semua pengetahuan tentang TIK dan kesehatan masyarakat (public health) utk bersama-sama berjuang, karena bagaimanapun juga pelaksanaan Pilkada 2020 di era new normal tersebut adalah sebuah keniscayaan yang harus dilakukan demi pembangunan demokrasi yang baik di Indonesia, namun sekali lagi agar jangan sampai niat yang baik malahan bisa menjadi kurang baik karena tidak menggunakan tahapan-tahapan yang semestinya dilakukan.

Indonesia insyaAllah pasti bisa melakukan, karena ini adalah hak demokrasi kita bersama dan merupakan kewajiban kita bersama pula untuk mewujudkan yang terbaik bagi masyarakat. Semoga dengan demikian akan baik hasil demokrasinya, baik penggunakan teknologi informasi dan komunikasinya serta baik pula pemenuhan protokol kesehatan masyarakatnya. 

(Pemerhati teknologi komunikasi & public health dari Universitas Gadjah Mada.)
BERIKUTNYA
SEBELUMNYA
Ikuti kami di Google Berita