GELORA.CO - Dalam rapat kabinet pada 18 Juni lalu, Presiden Joko Widodo memberikan peringatan keras kepada jajaran menteri Kabinet Indonesia Maju lantaran kinerjanya jeblok.
Dirinya menyebutkan, capaian realisasi anggaran kesehatan yang sejumlah Rp 75 triliun baru sekitar 1,53 persen.
Bahkan Jokowi juga menyinggung penyaluran bantuan sosial (Bansos) untuk masyarakat terdampak pandemik virus corona baru (Covid-19), yang hingga 3 bulan penanganan corona belum mencapai 100 persen.
Tanpa tedeng aling-aling, Jokowi menegaskan bahwa dirinya tak segan untuk mengeluarkan kebijakan luar biasa untuk keluar dari ancaman krisis yang disebabkan pandemik Covid-19.
Dengan nada tinggi, saat itu Kepala Negara menyatakan siap melakukan reshuffle, atau membubarkan suatu lembaga, atau bahkan mengobral reputasi politiknya untuk kembali mengeluarkan Perppu. Tujuannya, supaya krisis yang disebabkan Covid-19 bisa segera teratasi dan krisis tak terjadi.
Kegeraman atau kejengkelan Jokowi ini mengundang perhatian publik untuk berkomentar, salah satunya disampaikan pengamat politik dari Universitas Al Azhar Indonesia, Ujang Komarudin.
"Pernyataan yang keras tanpa tedeng aling-aling. Dan itu membuat para menteri yang jeblok kinerjanya tak akan bisa tidur karena takut direshuffle," ujar Ujang, Senin (29/6).
Oleh karena itu, Direktur Eksekutif Indonesia Political Review ini menyimpulkan, teguran Jokowi adalah warning keras untuk para menterinya. Khususnya bagi para menteri yang berkinerja jeblok, dan kemungkinan bisa akan terkena reshuffle.
Kendati begitu, Ujang Komarudin melihat masih ada peluang bagi para menteri untuk memperbaiki capaian kerjanya selama beberapa bulan hingga menjelang setahun kabinet Jokowi-Maruf.
"Kalau pun ada reshuffle mungkin akhir tahun. Nunggu 1 tahun kenerja para menteri," prediksinya.
"Intinya para menteri diminta kerja maksimal, kerja terbaik, jangan ragu ambil kebijakan yang bermanfaat buat rakyat. Jangan kerja asal-asalan," demikian Ujang Komarudin menambahkan. []