GELORA.CO - Baru-baru ini muncul desakan dari sejumlah elemen masyarakat soal pemakzulan Presiden Jokowi di tengah pandemi Covid-19.
Kendati bila dilihat dari kalkulasi kekuatan poltik yang ada saat ini sepertinya wacana itu sulit terwujud. Karena infra dan supra struktur politik praktis berada di genggaman rezim berkuasa saat ini.
Terkait dengan adanya wacana pemakzukan yang diwacanakan oleh sekelompok elemen masyarakat, pengamat kebijakan publik dari Center of Public Policy Studies (CPPS) Bambang Istianto, menilai dalam dunia politik sesuatu yang tidak mungkin bisa saja pada waktu singkat berubah jadi mungkin.
Indikasi kemungkinan terjadi yaitu jika dicermati faktor internal dan eksternal saat ini yang berkembang cepat bisa menjadi push factor pemakzulan tersebut.
“Misalnya faktor internal seperti yang diungkap beberapa pakar menengarai munculnya faksi-faksi dalam kekuasaan memberikan sinyal yang menginginkan terjadinya pergantian kekuasaan,” ujar Bambang, (11/6/2020)
Demikian pula melemahnya kapasitas pemerintah dalam menanggulangi pandemi Covid-19 berdampak serius terhadap terpuruknya kondisi makro maupun mikro ekonomi.
Hal tersebut, kata Bambang, semakin menggerus kepercayaan publik kepada pemerintah kian massif. Kemudian ditambah kelompok penekan bersuara semakin kencang mulai dari kampus UGM melalui webinar yang bertajuk “pemakzulan presiden” juga menghangatkan suhu poltik di Indonesia.
Lebih lanjut, Bambang mengatakan bahwa kasus hukum yang menimpa seorang pemberani seperti Ruslan Buton menuntut mundur Presiden Joko Widodo melalui medsos menjadi indikasi reaksi publik semakin mengeras.
“Seperti kita ketahui kejatuhan suatu rezim pemerintahan dipicu oleh faktor ekonomi dan politik. Sedang keadaan kedua faktor politik dan ekonomi trendnya sedang mengalami turbulensi sehingga membuat panik di lingkaran kekuasaan presiden,” ungkap Bambang.
Di samping itu, Bambang juga menilai, faktor eksternal terpicu oleh dampak global pandemi Covid-19 berakibat terjadinya perang dingin antara Amerika Serikat dengan Tiongkok atau Cina.
“Perang dingin saat ini sudah pada titik kulminasi yang cukup genting di wilayah Laut Cina Selatan. Dampaknya kurang menguntungkan bagi posisi Indonesia jika kebijakan geostrategi dan geo politik tidak dimainkan secara cepat dan tepat, dapat berpengaruh terhadap kekuasaan pemerintah,” ungkap Bambang.
Bambang berpendapat, untuk menghadapi faktor internal seharusnya ditangani dengan kepala dingin, tidak reaktif, apalagi dengan cara insinuasi. Akan tetapi dengan merangkul elemen elemen kekuatan politik dengan elegan dan akomodatif, dipastikan lebih produktif.
“Demikian pula kekuasaan pemerintah yang power full saat ini didayagunakan secara efektif yaitu melakukan gerak cepat recoverry ekonomi agar bisa bangkit dengan cara terobosan yang tidak konvensional,” saran Bambang.
Bambang mengatakan, menghadapi faktor eksternal di atas, Indonesia hendaknya bermain cerdas dalam memainkan politik bebas aktif.
Menurutnya, kedua negara raksasa yang sedang menjepit posisi Indonesia, justru situasi perang dingin memberi peluang bagi Indonesia memainkan autoritas teritorial di Selat Malaka sebagai kunci bergaining.
“Namun dengan tetap menjamin keuntungan dan kepentingan ekonomi dan poltik bagi Indonesia sebagai negara berdaulat. Karena itu jika faktor internal dan ekseternal bisa dikendalikan dengan seimbang maka upaya pemakzulan dapat dieliminir,” tegas Bambang.
Seperti diketahui, bahwa sebelumnya Direktur Eksekutif Lembaga Pemilih Indonesia (LPI) Boni Hargens mengungkap adanya pihak yang ingin mendongkel kekuasaan pemerintahan Joko Widodo.
Kini giliran aktivis Haris Rusly Moti bicara soal kemungkinan kudeta terhadap pemerintahan yang sah.
Bedanya, mantan Ketua Umum Partai Rakyat Demokratik (PRD) itu mengatakan, kelompok oposisi tidak mungkin menggusur Jokowi dari kursi kekuasaan.
Sebaliknya, Haris Rusly Moti mengatakan, menerima informasi mengenai manuver faksi tertentu di tubuh pemerintahan untuk mengambil alih kekuasan.
Pernyataan Haris Rusly Moti ini disampaikan melalui akun Twitter @motizenchannel. “Boni Hargens katakan ada rencana kudeta manfaatkan situasi Covid. Aku yakin rencana kudeta itu tak mungkin dilakukan oposisi,” tulis Haris Rusly Moti.
“Aku justru dapat informasi, ada faksi-faksi di dalam tubuh kekuasaan yang berencana tendang Joko Widodo dari jabatan Presiden,” sambungnya.
Skenario pengambilalihan kekuasaan dari tangan Jokowi saat ini paling mungkin mengikuti skenario ketika Megawati Soekarnoputri menggeser Abdurrahman Wahid alias Gus Dur pada tahun 2001.
Sebelumnya, Boni Hargens mengatakan sudah mengantongi nama sejumlah tokoh yang ingin mengkudeta Jokowi. Mereka menggunakan sejumlah isu sebagai materi propaganda politik untuk memprovokasi rakyat.
Isu tersebut antara lain soal komunisme dan rasisme Papua dengan memanfaatkan kematian pria kulit hitam George Floyd di Minneapolis, Amerika Serikat.
“Isu lain yang mereka gunakan adalah potensi krisis ekonomi sebagai dampak inevitable (tidak terhindarkan) dari pandemi Covid-19. Kelompok ini juga membongkar kembali diskursus soal Pancasila sebagai ideologi negara,” kata Boni. []