GELORA.CO - Insiden teror oleh oknum tertentu terhadap penyelenggaran diskusi ilmiah yang digelar oleh Constitusional Law Society (CLS) Fakultas Hukum Universitas Gadjah Mada (UGM) beberapa hari lalu terus menarik perhatian publik. Kebebasan berpendapat di tengah pandemi COVID-19, hingga pemakzulan presiden pun turut menjadi isu bergulir pasca kejadian itu.
Isu ramainya soal pemakzulan presiden turut dikomentari beberapa kalangan, termasuk politisi di Senayan. Anggota DPR RI dari Partai Gerindra, Fadli Zon buka suara.
Menurut Fadli, harusnya di negara demokrasi tidak ada yang perlu ditakutkan untuk berbicara pemakzulan. Ia menyebut yang ketakutan adalah orang yang tidak percaya diri, bahkan anti demokrasi.
"Knp harus takut membicarakan pemakzulan, itu hal lumrah saja dlm demokrasi. Yg ketakutan pasti yg tak percaya diri, paranoid n anti-demokrasi," tulis Fadli di Twitternya.
Knp harus takut membicarakan pemakzulan, itu hal lumrah saja dlm demokrasi. Yg ketakutan pasti yg tak percaya diri, paranoid n anti-demokrasi. https://t.co/tWLL5wDywG
— Fadli Zon (@fadlizon) June 1, 2020
Pemakzulan Sangat Mungkin Dilakukan
Sementara itu, Ketua Dewan Pertimbangan Majelis Ulama Indonesia (MUI) Pusat, Din Syamsuddin menjelaskan makna dari sebuah kebebasan berpendapat. Mantan Ketum PP Muhammadiyah ini mengupas dari perspektif Islam dan pemikiran politik Islam.
Din mengatakan, ihwal kebebasan berpendapat, para ulama memahaminya sebagai salah satu dari tiga dimensi penting dari kebebasan. Ia menegaskan kebebasan merupakan hak manusiawi dan hak makhluk. Bahkan Tuhan mempersilahkan manusia untuk beriman atau tidak.
"Bahkan Sang Pencipta menyilahkan manusia mau beriman atau tidak beriman, ini pangkal dari sebuah kebebasan," kata Din dalam diskusi bertajuk ‘Menyoal Kebebasan Berpendapat dan Konstitusionalitas Pemakzulan Presiden di Era Pandemi Covid-19’, yang digelar secara virtual, Senin, 1 Juni 2020..
Oleh karena itu, menurut Din, kebebasan pada manusia ini dipandang sebagai sesuatu yang melekat pada manusia itu sendiri. Ia menyebut manusia punya kebebasan berkehendak dan berbuat.
"Oleh karena itulah, ada yang memandang, seperti yang saya kutip dari Mohammad Abdul melihat atau menilai kebebasan itu sebagai sesuatu yang sakral dan transendental. Sebagai sesuatu yang suci dan melekat dengan fitrah kemanusiaan, manusia bebas walupun terbatas," kata Din.
Lebih lanjut Din menjelaskan, Abdul menilai kebebasan itu hanya dapat diaktualisasikan oleh manusia kalau manusia sudah melewati dua fase kehidupannya.
Fase pertama yakni eksistensi, alamiah ketika manusia masih berada dalam masa jahiliah atau kebodohan. Fase kedua, yakni fase sosial atau komunal, saat manusia sudah berbudaya dan berperadaban. Din menyebut kebebasaan adalah sesuatu yang tinggi.
"Hanyalah pada manusia beradap ada kebebasan dan ada pemberian kebebasan. Tentu logika sebaliknya adalah tidak beradab kalau ada orang atau rezim yang ingin menghalang-halangi apalagi meniadakan kebebasan itu," kata Din. (*)