Miris, Korut: Sebagai 'Hakim' HAM, AS Masih Tumbuhkan Diskriminasi Rasial

Miris, Korut: Sebagai 'Hakim' HAM, AS Masih Tumbuhkan Diskriminasi Rasial

Gelora Media
facebook twitter whatsapp

GELORA.CO - Meninggalnya George Floyd, pria kulit hitam asal Amerika Serikat (AS), di tangan seorang polisi kulit putih merupakan fakta yang miris. AS yang selama ini berperilaku seolah-olah sebagai "hakim" hak asasi manusia (HAM) nyatanya masih menumbuhkan diskriminasi rasial dan pelanggaran HAM itu sendiri.

Begitu kiranya yang disampaikan oleh jurubicara Asosiasi Korea untuk Studi HAM melalui keterangan tertulis yang diterima redaksi pada Senin (8/6).

Kematian Floyd pada 25 Mei merupakan puncak kemarahan publik. Perilaku diskriminasi polisi AS terhadap warga Afro-Amerika kerap terjadi, dan tidak jarang berujung pada pemenjaraan hingga pembunuhan.

Ketua Kelompok Kerja Para Ahli dari Dewan HAM PBB untuk Penduduk Keturunan Afrika, pada Juli 2016, jelas menyebut tindakan tersebut sebagai manifestasi rasisme institusional. Artinya, perilaku diskriminasi rasial sudah mendarah daging dalam institut kepolisian AS.

Pernyataan tersebut dibuktikan dengan data yang dirilis oleh Amnesty International. Organisasi tersebut menunjukkan, setidaknya ada 500 warga kulit hitam yang terbunuh oleh pistol listrik polisi dar 2001 hingga 2012. Yang lebih mengejutkan, 90 persen tindakan tersebut dilakukan kepada mereka yang tidak membawa senjata alias bertangan kosong.

"Diskriminasi rasial di AS merupakan masalah HAM terpanas di dunia, karena ini merupakan pelanggaran sewenang-wenang terhadap konvensi HAM yang diakui secara internasional termasuk Deklarasi Universal HAM dan Konvensi Internasional tentang Penghapusan Segala Bentuk Diskriminasi Rasial," ujar jurubicara tersebut.

Berdasarkan Pasal 2 Deklarasi Universal tentang HAM menetapkan, setiap orang berhak atas semua hak dan kebebasan yang ditetapkan dalam deklarasi tersebut, tanpa perbedaan dalam bentuk apa pun. Termasuk ras, warna kulit, jenis kelamin, bahasa, agama, pendapat politik atau lainnya, asal kebangsaan atau sosial, properti, kelahiran atau status lainnya.

Namun di AS, tindakan diskriminasi rasil terlihat dari tahanan penjara, pemisahan tempat tinggal, diskriminasi pendidikan, hingga perampasan hak politik untuk orang kulit berwarna.

Sayangnya, diskriminasi tersebut ditutupi oleh hukum federal seperti UU Hak Sipil, UU Hak Pilih, dan UU Perumahan yang Adil.

Sebuah tim pelapor khusus Dewan HAM PBB melaporkan ketika berkunjung ke AS pada Juli 2016. Mereka mengutuk diskriminasi rasial terhadap orang kulit hitam dan berwarna dengan "mengurung" mereka di area tertentu yang memicu efek buruk terhadap kebebasan berserikat.

Berdasarkan laporan yang dirilis oleh Kelompok Kerja Para Ahli dari Dewan HAM PBB untuk Penduduk Keturunan Afrika, sebanyak  40,4 persen penduduk AS yang tidak memiliki kewarganegaraan merupakan Afro-Afrika. Tingkat pengangguran mereka pun dua kali lipat dari tingkat pengangguran nasional.

Laporan tersebut juga menunjukkan, tingkat hukuman penjara terhadap pria kulit hitam keturunan Afrika 5,9 kali lebih tinggi dari pria kulit putih. Sementara untuk wanita kulit hitam keturunan Afrika 2,1 kali lebih tinggi dari wanita kulit putih.

"Diskriminasi rasial dan pelanggaran HAM di AS menjadi penyakit sosial kronis yang tidak dapat disembuhkan karena cacat institusional," ujar jubir tersebut.

"Ini adalah kenyataan yang nyata, AS dengan menjijikkan berperilaku seolah-olah menjadi "hakim HAM" dengan mengambil masalah yang disebut "pelanggaran HAM" dari negara lain kapan pun diinginkan," sambungnya.

"AS telah lama kehilangan hak moralnya untuk menangani masalah hak asasi manusia di negara lain," tegasnya.

Salah satu contohnya adalah dengan membawa persoalan HAM Korea Utara ke Dewan Keamanan PBB dan Dewan HAM P BB.

Dengan kenyataan seperti saat ini, jubir tersebut mengatakan, Korea Utara akan mengikuti laporan dan penelurusan dari Dewan HAM PBB terkait dengan bentuk-bentuk rasisme konteporer di AS. (Rmol)
BERIKUTNYA
SEBELUMNYA
Ikuti kami di Google Berita