Oleh:Munawir Aziz
ADA banyak kisah bagaimana Kiai Abdurrahman Wahid melakukan lawatan kuburan pada masa jelang terpilihnya beliau menjadi Presiden RI pada 1999. Mendung gelap demokrasi dan krisis moneter pada 1998 menjadi latar manuver-manuver politik sebelum Gus Dur mendapat amanat sebagai kepala negara.
Gus Dur berkunjung ke beberapa makam wali, di antaranya Syaikh Ahmad Mutamakkin, Kajen, Pati. Ziarah Gus Dur banyak dicibir musuh politiknya, yang menganggap langkah politik presiden penuh dengan mistik.
Tapi tidak demikian dengan manuver diplomasi Gus Dur di level internasional. Baru tiga bulan menjadi Presiden, Gus Dur langsung tancap gas melakukan lawatan diplomatik. Selama menjadi presiden dalam periode pendek 21 bulan, Gus Dur berkunjung ke 99 kawasan. Gerak cepat presiden Abdurrahman Wahid mengundang decak kagum.
Gus Dur menepati undangan dari Presiden China, Jiang Zemin untuk datang ke negeri Tirai Bambu pada 1-3 Desember 1999. Gus Dur mengawali kunjungan kenegaraan ke China, sebagai awal dari relasi diplomatiknya. Mengapa Gus Dur mengawali safari diplomatiknya ke China? Menurut Gus Dur, pemerintah China paling konsisten mendukung diplomasi politik Indonesia di level internasional.
"This was his reaction to Western efforts to hold Indonesia accountable in the United Nations for the autrocities in East Timor. Arriving in China in December 1999, Wahid was welcome by president Jiang Zemin who promised deeper future bilateral relations. For that purpose, it was agreed that the two countries would work out and sign a framework document for the establishment and development of a long term and stable relationship," demikian analisa Dittmer & Ngeow (hal, 140-1)
Lowell Dittmer & Chow Bing Ngeow dalam 'Southeast Asia and China: A Contest in Mutual Socialization' (hal. 141) menulis betapa Gus Dur menempatkan China sebagai awalan diplomasi politiknya. Gus Dur menilai pemerintah China bisa menjadi partner dekat Indonesia, meski sempat mengalami hubungan panas dingin pada masa Soeharto.
Manuver diplomasi Gus Dur dengan menggandeng China dan India, sebagai cara untuk membangun kekuatan politik dan sekaligus konsolidasi ekonomi agar saling menguatkan. Gus Dur membangun poros Jakarta-Beijing-New Delhi bukan tanpa sebab, tapi sebagai strategi politik agar Indonesia mendapat perhatian dari dunia internasional, serta memainkan cara baru dalam menarik investasi ke negara-negara Asia.
Gus Dur memahami bahwa pada awal 2000, kekuatan antara negara Barat dengan Asia sangat timpang. Negara-negara Asia menjadi macan tidur yang harus dibangunkan, agar bisa mengaum dan berpengaruh di level internasional. Saat itu, negara-negara Asia yang terlihat moncer dalam bidang ekonomi didominasi Jepang dan Singapura.
Sementara, negara-negara Asia lainnya masih berjuang dengan gap besar antar kekayaan warganya, serta kesejahteraan yang tidak merata. Kemiskinan juga masih menjadi ancaman, karena potensi-potensi ekonomi rakyat dan pertanian belum dimaksimalkan. Gus Dur melihat, dengan membangun koalisi dengan India dan China, potensi ekonomi Indonesia bisa bangkit, naik berlipat-lipat.
Sumber daya alam, potensi energi dan sumber daya manusia dari ketiga negara itu masih melimpah. Indonesia, China dan India punya potensi yang sama untuk menjadi bangsa yang besar. Gus Dur, ketika menjadi Presiden, paham betul bahwa India dan China sudah mulai menggeliat, dengan potensi sumber daya manusia yang meningkat pesat, dengan ratusan ribu bahkan jutaan pelajar yang sedang studi di negara-negara Eropa, Australia dan Amerika Serikat.
Catatan Kementerian Luar Negeri Republik Rakyat China menunjukkan, ikhtisar pertemuan Presiden Jiang Zemin dan Presiden Abdurrahman Wahid. Pada naskah diplomatik berjudul "Joint Press Communique of the People's Republic of China and the Republic of Indonesia" (akses (18/6), berisi poin-poin penting terkait dengan pertemuan dua kepala negara.
Gus Dur dan Jiang Zemin bersepakat bahwa kedua negara melanjutkan kerjasama jangka panjang. "Two sides reaffirment their willingness to consolidate the existing traditional friendship on the basis of the Five Principles of Peaceful Coexistence and the Ten Principles of Bandung Conference, and reiterated their joint commitment to the establishment and development of a long term and stable relationship of good neighborlines, mutual trust, and all round cooperations."
Di antara pembahasan dalam pertemuan itu, Presiden Abdurrahman Wahid berterima kasih atas dukungan pemerintah China tehadap Indonesia pasca krisis 1998. Kedua belah pihak sepakat untuk meningkatkan kerjasama bilateral dengan program-program peningkatan kualitas sumber daya pemerintahan, militer dan organisasi sosial/NGO.
Selain itu, pemerintah Indonesia dan China juga berkomitmen untuk meningkatkan relasi di bidang ekonomi, pendidikan, kesehatan dan turisme. Kedua belah pihak sepakat untuk membangun intensitas kerjasama di masa mendatang dalam lintas aspek: perdagangan, investasi, sains dan teknologi, industri, agrikultur, perikanan, pertambangan dan teknologi.
Presiden Gus Dur dan Jiang Zemin juga membahas tentang konsolidasi Indonesia-China dalam organisasi-organisasi regional dan internasional, yang meniscayakan lobi politik serta kesepakatan diplomatik. Di antaranya di organisasi UN (United Nations), WTO (World Trade Organization), APEC, ASEM (Asia Europe Meeting). Serta solidaritas bersama antar negara dunia ketiga dan gerakan non blok.
"..continue to support the solidarity and cooperation among the Third World Countries and the Non-Alignment Movement, and that they are willing to work together for the establishment of a fair and equitable new international political and economic order for the maintenance of world peace and stability," demikian risalah pertemuan Presiden Jiang Zemin dan Abdurrahman Wahid yang dipublikasi Kementrian Luar Negeri China.
Meski Gus Dur telah lengser sebagai presiden pada Juli 2001, Jiang Zemin tetap menaruh harapan besar untuk bekerjasama dengan Indonesia. Zemin ingin agar hubungan baik pada masa Presiden Soekarno dan Presiden Abdurrahman Wahid dapat terus berlangsung pada masa kepemimpinan Megawati Soekarnoputri.
Pada pertemuan APEC (Asia-Pasific Economic Cooperation) di Shanghai Oktober 2001, Jiang Zemin menegaskan dukungannya agar pemerintah Indonesia tetap menjalin relasi diplomatik yang kuat dengan China.
Relasi Gus Dur dengan pemerintah China tidak sekadar hubungan kenegaraan. Ada ikatan-ikatan emosial dan genetik yang menjadikan Gus Dur dekat dengan China. Dalam beberapa kesempatan, Gus Dur menyampaikan bahwa leluhurnya berasal dari China, yang bernama Tan Kin Ham. Pada sebuah lawatan ke China, Gus Dur menyempatkan berkunjung ke sebuah desa yang dianggap sebagai kawasan leluhur Tan Kin Ham.
(Penulis adalah Sekretaris PCI Nahdlatul Ulama Inggris dan Penulis buku 'Bapak Tionghoa Nusantara: Gus Dur, Politik Minoritas dan Strategi Kebudayaan')