Kumandang Keadilan Dan Kontroversi RUU HIP

Kumandang Keadilan Dan Kontroversi RUU HIP

Gelora Media
facebook twitter whatsapp

Oleh:Tamsil Linrung
 GEMURUH kritik dan gugatan masyarakat dunia atas kematian George Floyd menggema. Bahkan hingga kini. Sebulan setelah peristiwa nahas dialami warga kulit hitam yang tewas di tangan petugas polisi Minnesota, Amerika Serikat itu terjadi.
Seruan kemanusiaan berkumandang. Jalanan di kota-kota besar seantero dunia menggema. New York, London hingga Amsterdam dibanjiri jutaan manusia. Demonstrasi bahkan masih berlangsung di Glasgow, Skotlandia hari Minggu (21/6) waktu setempat. Artikulasi suaranya senada. Mengutuk perilaku rasial yang masih mengakar urat dan bahkan terjadi di wilayah yang dijuluki negara maju.

Bila dicermati, kematian George Floyd sebetulnya hanya pemicu. Dunia telah lama gelisah. Gusar menyaksikan tindakan rasial, diskiriminatif dan berbagai praktik ketidakadilan yang mewabah di berbagai wilayah. Melihat potret ketidakadilan bahkan semudah menolehkan pandangan ke kiri dan kanan kita. Di lingkungan sekitar, kita kerap kali menyaksikan ketimpangan akibat ketidakadilan struktural.

Di dunia Islam, perjuangan melawan ketidakadilan merupakan agenda global dan jangka panjang umat. Islam juga merupakan pionir dalam mengumandangkan seruan kemanusiaan melawan ketidakadilan. Sejak 14 abad silam, Islam sudah menentang rasisme. Bukan sekadar dengan slogan, tapi dipraktikkan langsung oleh Nabi Muhammad SAW.

Perlawanan Islam terhadap rasisme dan bentuk ketidakadilan lainnya, bahkan menjadi konstitusi negara sebagaimana kita sepakat, bahwa perbuatan Rasulullah Muhammad SAW merupakan sumber hukum. Nash-nash di dalam agama, bahkan secara tersurat memberikan posisi mulia nan berharga kepada mereka yang berpartisipasi menopang keadilan. Seperti pahala memerdekakan budak.

Dalam hadits, Nabi SAW bersabda: "Siapa saja seorang muslim yang membebaskan seorang budak yang muslim, maka perbuatannya itu akan menjadi pembebas dirinya dari api neraka."(HR. Tirmidzi, beliau mengatakan hadits ini Hasan Shahih No. 1547).

Meski Islam berada di garda terdepan melawan ketidakadilan dalam berbagai bentuknya, termasuk tindakan rasial, nyatanya umat Islam di berbagai belahan dunia justru menjadi korban ketidakadilan. Lihatlah bagaimana muslim di Palestina diperlakukan oleh Israel.

Atau muslim Uyghur di Xinjiang yang direnggut hak-haknya secara bar-bar. Lalu di media dibangun opini seolah-olah mereka merupakan pemberontak dan ancaman bagi pemerintah. Yang terdekat, saudara-saudara kita muslim Rohingnya di negara bagian Rakhine, Myanmar diusir dari rumah-rumah mereka. Lalu direnggut tanahnya kelahirannya oleh pemerintah.

Rentetan contoh dan peristiwa itu merupakan sekelumit potret dari gambaran yang jauh lebih besar, namun terjadi di belakang layar. Praktik ketidakadilan bisa didalami lebih jauh ke level masyarakat atau komunitas. Termasuk dialami umat Islam di berbagai belahan dunia dimana mereka minoritas. Diperlakukan secara tidak adil. Dibatasi kebebasan dan direnggut hak-haknya.

Seperti dikatakan sahabat saya, Imam Shamsi Ali yang telah lama bermukim di Amerika, bahwa rasisme bukan merupakan wujud perbuatan bangsa yang beradab. Dengan kata lain, rasisme hanya dilakukan oleh manusia-manusia terbelakang. Istilah kampungnya, orang niradab atau biadab.

Memang banyak motif di balik ketidakadilan yang terjadi. Baik di dunia Islam, maupun di level universal dan kemanusiaan secara umum. Jika kita klasifikasi, ada dua motif utama mengapa ketidakadilan merajalela.

Pertama, motif politik. Ini misalnya terjadi dan menimpa umat Islam di Palestina, Xinjiang dan Myanmar. Upaya kelompok dominan mempertahankan hegemoni politik, maka mereka melakukan tindakan repsresif, dan ekspresi ketidakadilan lainnya. Termasuk membatasi hak-hak ekonomi masyarakat.

Kedua, motif ekonomi. Ketidakadilan yang dilatarbelakangi oleh motif politik kerap kali terjadi karena kepentingan ekonomi. Seperti ketidakadilan politik terhadap muslim Rohingnya di Myanmar. Menurut berbagai kajian, rupanya pengusiran besar-besaran dan pembakaran kampung mereka di Rakhine, karena motif ekonomi. Diketahui, bahwa wilayah yang telah menjadi rumah bagi muslim Rohingnya turun temurun itu, kaya akan sumber daya alam mineral.

Praktik ketidakadilan yang menimpa umat Islam itu terpampang di mata umat manusia secara global. Bahkan kerap kali diserukan di berbagai panggung dan forum-forum dunia. Tapi seolah berlalu begitu saja. Sekadar formalitas.

Cabut RUU HIP

Jika sedemikian parahnya ketidakadilan menggerogoti kehidupan umat manusia secara global meski dunia bergelimang capaian-capain kemajuan yang katanya untuk mewujudkan kesetaraan, lantas bagaimana dengan Indonesia? Negeri yang salah satu dasar negara dan falsafahnya secara jelas berbicara tentang keadilan.

Sorot tajam terhadap ketidakadilan yang terjadi di berbagai belahan dunia itu, menarik kita cermati dalam konteks polemik Rancangan Undang-Undang Haluan Ideologi Pancasila (RUU HIP) yang bergulir dan menuai polemik.

Berbagai elemen masyarakat, terutama umat Islam, tegas menolak RUU tersebut karena alasan ideologis. Tekanan yang luas dari berbagai elemen, sukses menundukkan pemerintah. Sehingga pemerintah menyatakan menunda pembahasan RUU HIP yang kontroversi itu. Maka seyogianya bola panas yang kini berada di Dewan Perwakilan Rakyat (DPR) tersebut diakhiri. DPR mesti mencabut RUU HIP dari Prolegnas 2020.

Alih-alih membuka perdebatan tidak produktif, dan cenderung mereduksi sakralitas Pancasila yang derajatnya tiba-tiba diseret turun setara Undang-Undang, yang lebih dibutuhkan oleh masyarakat saat ini adalah implementasi nilai-nilai Pancasila. Terutama Sila Kelima, Keadilan Sosial Bagi Seluruh Rakyat Indonesia.

Kritik terhadap kemampuan negara (baca: pemerintah) dalam mempraksiskan keadilan bagi seluruh elemen bangsa selalu didengungkan. Dalam berbagai bentuk artikulasi. Termasuk yang disajikan secara akademis dan ilmiah. Terutama soal keadilan dalam aspek ekonomi.

Sorotan terhadap “Keadilan sosial bagi seluruh rakyat Indonesia” di bidang ekonomi bahkan sering jadi perhatian lembaga-lembaga internasional. Salah satunya yang pernah dirilis oleh Credit Suisse. Menurut lembaga riset yang berbasis di Swiss itu, 1 persen kaum superkaya di negeri ini menguasai 49 persen kekayaan nasional. Konsentrasi ekonomi itu, mencerminkan kegagalan distribusi kesejahteraan. Atau dalam kata lain, negara gagal dalam mewujudkan keadilan di bidang ekonomi.

Ketidakadilan itu bahkan tampak secara spasial. Sebagai Senator Dewan Perwakilan Daerah (DPD), saya kerap kali menyampaikan bahwa agenda pembangunan Indonesia ke depan mestinya menukik ke daerah-daerah. Yang selama beberapa dekade, hanya bisa menyaksikan gemuruh ekonomi menderu di Pulau Jawa saja.

Bukan cuma mengentaskan kesenjangan spasial, agenda mewujudkan keadilan di bidang ekonomi juga sudah saatnya terdistribusi kepada 99 persen rakyat Indonesia lainnya. Meski harus diakui, sifat kapital cenderung terakumulasi kepada satu kelompok yang kadung mengontrol jalannya perekonomian.

Maka disitulah pemerintah harus hadir berperan secara konkret. Mendistribusi faktor-faktor produksi kepada rakyat. Bukan melanggengkan kepemilikan modal yang telah terkonsentrasi dan membentuk oligarki ekonomi.

Memang da upaya menyentuh masyarakat misalnya dengan berbagai bentuk bansos sembako dan subsidi, terutama untuk golongan masyarakat miskin. Tapi bantuan-bantuan tersebut sifatnya sangat temporer. Jangka pendek. Rakyat seharusnya diberi stimulus faktor produksi. Diberi kail dan pancing. Bukan dikasih ikan. Itu yang mereka perlukan.

Akhirnya, agenda mewujudkan keadilan dan manifestasi dari dasar-dasar negara, Pancasila, tidak cukup semata dalam balutan kemasan. Tapi harus menyentuh esensi kehidupan masyarakat. Karena keadilan tersebut soal rasa.

Negara harus dirasakan kehadirannya. Yang oleh setiap masyarakat bisa berbeda makna. Keadilan di bidang ekonomi, adalah pijakan dalam mewujudkan keadilan politik, sosial, pendidikan, kesehatan, kebudayaaan dan sektor-sektor kehidupan lainnya.

Jangan sampai, negara gagal mewujudkan keadilan karena pemerintah ribut berkutat pada perdebatan tidak produktif. Lalu rakyat menggugat dalam kumandang perlawanan terhadap ketidakadilan. Kita tidak ingin perlawanan atas ketidakadilan yang mendera dunia saat ini, mewarnai drama kehidupan berbangsa. 

(Senator DPD RI dan penulis buku “Politik untuk Kemanusiaan”)
BERIKUTNYA
SEBELUMNYA
Ikuti kami di Google Berita