GELORA.CO - Konflik di Laut China Selatan yang melibatkan Amerika Serikat dan China berpotensi menimbulkan bentrokan senjata. Hal itu berdasarkan pengalaman sebelumnya, yang mana dari 16 transisi hegemoni, hanya empat saja yang tidak menyebabkan terjadinya perang.
"Kita menuju transisi ke-17 hegemoni, yang saat ini melibatkan antara Amerika Serikat dan China. Sebagian besar transisi hegemoni diikuti perang. Hanya empat yang tidak perang besar," kata Dosen Fisip UI Andi Widjajanto, dalam diskusi 'Geopolitik Energi di Laut Cina Selatan: Kekuatan Diplomasi', Sabtu (20/6).
Biasanya perang besar didahului tiga hal, yakni ada negara yang membangun industri pertahanan dalam jangka panjang, terjadinya resesi ekonomi yang menyebabkan penguasaan sumber daya energi menjadi terbatas, serta adanya keyakinan negara memenangkan perang karena kapasitas teknologi baru yang mereka miliki.
Seperti diketahui, China dan AS terus membangun industri pertahanan untuk kepentingan jangka panjang. Di sisi lain, dunia juga sedang diambang resesi ekonomi akibat pandemi Covid-19. Itulah sebabnya semua pihak, terutama Indonesia, harus terus mengamati perkembangan konflik di Laut China Selatan.
Tetapi dia menegaskan, sejarah juga mencatat perang terjadi bukan ketika terjadi krisis. Tetapi ketika dalam proses memulihkan diri dari krisis. Perang AS dan Jepang terjadi ketika kedua negara sedang dalam kondisi memulihkan ekonomi dari krisis. Di mana ada kebutuhan mencari sumber daya yang terbatas.
"Sekarang kira-kira ada di warna kuning. Dimana sumber daya alam masih terbatas, tetapi masing-masing pihak masih bisa menahan diri. Perebutan sumber daya bisa saja menyebabkan terjadinya perang pada skala regional atau bahkan perang dunia ketiga,' ucap dia.
Sementara mantan Panglima TNI Moeldoko, menegaskan Indonesia harus tetap netral dalam situasi tersebut. Dia mengaku saat masih menjabat sebagai panglima, kerap diminta melakukan latihan militer bersama dengan AS dan China di Laut China Selatan, tetapi untuk menjaga netralitas Indonesia, semuanya ditolak.
"Kalau perang di Laut China Selatan benar-benar terjadi, tidak banyak berdampak ke kita. Hanya saja, jalur navigasi dan jalur ekonomi akan terganggu. Tetapi sebenarnya itu bukan hanya kita, tetapi banyak negara yang juga merasakan seperti itu," jelas dia.
Moeldoko menyarankan dalam agar pemerintah bisa memanfaatkan situasi tersebut untuk memaksimalkan kepentingan ekonomi Indonesia.
"Bagaimana caranya bisa memanfaatkan situasi itu untuk kepentingan ekonomi Indonesia," ucap dia.
Ketegangan antara Washington dengan Beijing belakangan memang meningkat. AS mengerahkan tiga kapal induk Angkatan Lautnya ke Samudra Pasifik. Manuver militer AS ini menuai protes China.
Media pemerintah China menyebut Beijing tidak akan berhenti membela kepentingannya di wilayah tersebut.
Menurut pernyataan Angkatan Laut AS pada Kamis (11/6), USS Ronald Reagan dan USS Theodore Roosevelt berpatroli di wilayah Barat Samudra Pasifik, sementara USS Nimitz di wilayah timur. Masing-masing kapal induk membawa lebih dari 60 pesawat.
Pada Minggu (14/6), juru bicara Global Times, media milik Partai Komunis China, mengatakan bahwa kehadiran kapal-kapal induk AS dapat memicu ketenangan di Laut China Selatan yang disengketakan. []