GELORA.CO - Gubernur Jawa Timur Khofifah Indar Parawansa memaparkan bahwa tingkat kepatuhan masyarakat di wilayah Surabaya Raya rendah dalam menerapkan protokol kesehatan.
Paparan itu merupakan hasil kajian dan survei Ikatan Alumni Fakultas Kesehatan Masyarakat Universitas Airlangga (FKM Unair) Surabaya. Hal itu kemudian disampaikan langsung oleh Khofifah di hadapan Presiden Joko Widodo di Gedung Negara Grahadi, Surabaya, Rabu (24/6).
Mantan Menteri Sosial ini mengungkap bahwa persentase ketidakpatuhan masyarakat terhadap protokol kesehatan di tempat-tempat umum masih sangat tinggi.
"Temuan IKA FKM Unair, bahwa di tempat ibadah yang aktif masih 81,7 persen, yang tidak menggunakan masker 70,6 persen, kemudian yang tidak physical distancing masih 64, 6 persen," ujar Khofifah.
Selain itu, gubernur kelahiran Surabaya ini mengatakan di pasar tradisional maupun tempat berkumpul masyarakat tingkat kepatuhan masyarakat Surabaya Raya di bawah 20 persen. Dia menyebut masyarakat yang tidak memakai masker di pasar 84 persen, sedangkan di tempat tongkrongan 88 persen.
"Pasar tradisional meskipun kami sudah membagi masker berkali-kali, kami juga minta untuk menggunakan face shield, tapi masih 84,1 persen tidak menggunakan masker, 89 persen belum physical distancing," ucapnya.
Ketidakpatuhan masyarakat, papar gubernur perempuan pertama di Jatim ini, juga terjadi di warung-warung kopi atau tempat warga berkumpul. Mayoritas masyarakat masih enggan menggunakan masker.
"Kemudian tempat cangkrukan, masih ada 72,5 persen yang masih aktif, 88, 2 persen mereka tidak menggunakan masker dan 89 persen mereka tidak physical distancing," ujarnya.
Presiden Jokowi memberikan keterangan bersama Gubernur Jatim Khofifah, Kamis (25/6)Presiden Joko Widodo memberikan keterangan bersama Gubernur Jatim Khofifah, Kamis (25/6). (Foto: Muchlis-Biro Setpres)
Pada posisi seperti inilah, kata Khofifah, yang memicu munculnya klaster-klaster baru terutama yang terkait potensi kerumunan massa itu berasal.
Melihat hasil survei tersebut, Khofifah sangat menyayangkan karena Surabaya Raya sudah menggelar Pembatasan Sosial Berskala Besar (PSBB) hingga tiga tahap. Ditambah lagi masa transisi selama dua pekan yang berakhir pada 22 Juni lalu.
Kebijakan-kebijakan ini, lanjut Khofifah, sebenarnya sudah menemui hasil.
"Kami ingin menyampaikan bahwa PSBB di Surabaya Raya itu sudah sempat sukses kalau dari sisi Rt (rate of transmission atau tingkat penularan) di bawah 1. Jadi pada tanggal 20 sampai tanggal 26 Mei sesungguhnya sudah tepat di bawah 1," ungkapnya.
Rendahnya tingkat kepatuhan masyarakat Surabaya Raya ini membuat upaya Pembatasan Sosial Berskala Besar (PSBB) di Surabaya, Gresik dan Sidoarjo selama ini tak membuahkan hasil yang diharapkan.
Hal itu dilihat dari rate of transmission atau tingkat penularan di daerah ini sempat di bawah satu ketika PSBB, kini kembali meningkat jelang dihentikannya PSBB, hingga penerapan masa transisi kini.
"Kami sempat mendapatkan kebahagiaan ketika tanggal 9 Juni sebetulnya rate of transmission di Jawa Timur sudah 0,86 persen, tapi kemudian ada kenaikan kembali pada tanggal 24 kemarin menjadi 1,08 persen," ujarnya.
"Surabaya sendiri di bawah 1 sempat enam hari, Sidoarjo di bawah 1 sempat delapan hari, Gresik di bawah 1 sempat 6 hari," tambahnya
Namun angka itu tidak bisa dipertahankan sampai 14 hari sebagaimana pedoman WHO dan Bapenas. Hal itu dipicu masyarakat yang masih menggelar kegiatan silaturahmi saat Lebaran.
"Tetapi kemudian imbauan kami pada saat Lebaran supaya silaturahim secara virtual dan seterusnya, itu tidak mudah untuk mengajak masyarakat halal bi halalnya nanti secara digital saja. Ternyata dianggap kurang afdol," katanya. []