Keberhasilan Pemimpin Perempuan Atasi Covid-19 Dan Gerakan Aisyiah

Keberhasilan Pemimpin Perempuan Atasi Covid-19 Dan Gerakan Aisyiah

Gelora Media
facebook twitter whatsapp

Oleh:Fahmi Syahirul Alim
 ADA beberapa negara yang dianggap berhasil menahan laju penularan Covid-19 di antaranya, Selandia Baru, Jerman, Taiwan  Hong Kong, Jerman, Finlandia, Norwegia dan Islandia. Ketujuh negara tersebut dipimpin oleh perempuan, mari kita lihat beberapa contoh mengapa mereka dikatakan berhasil dalam mengurangi penularan Covid-19.
Dari awal, mengutip Restu Dianita (2020), Jerman tidak melewati fase penyangkalan ataupun menutup-nutupi informasi seperti yang diperlihatkan negara lain. Angela Merkel langsung melakukan uji tes swab sejak awal secara masif. Upaya ini berhasil menekan angka kematian akibat Covid-19 di Jerman dengan 4.586 kasus meninggal dunia dari 145.184 kasus positif per 19 April.

Selain itu, menurut Restu, alih-alih melempar guyonan pseudo-science seperti “Corona menyingkir karena doa qunut”, Angela Merkel lebih mendengarkan sains. (Tirto.id)

Selanjutnya mari kita tengok Taiwan, mengutip tulisan Iim Fahima Jachja (2020), di awal Januari, sebelum Covid-19 mendunia, Presiden Tsai Ing Wen, yang juga merupakan presiden perempuan pertama di Taiwan, menetapkan 124 kebijakan baru untuk menghentikan penyebaran virus.

Taiwan menutup hampir seluruh penerbangan dari dan menuju China. Warga yang dikarantina dimonitor dengan aplikasi pelacakan berbasis GPS untuk dipastikan mereka benar-benar di rumah dan setiap hari ditelpon untuk memastikan mereka dalam keadaan sehat dan tetap tinggal di rumah (Liputan6.com)

Momentum Mengubah Paradigma Masyarakat

Walaupun tidak semua keberhasilan para pemimpin perempuan dalam mengatasi Covid-19 dapat ditampilkan semua dalam tulisan ini karena keterbatasan ruang. Namun tentu tidak mengurangi sedikitpun substansi maupun pelajaran berharga yang dapat kita petik terkait isu perempuan bagi bangsa ini. Yaitu terkait pentingya memperluas peran kepemimpinan  perempuan dalam berbagai sektor. Terutama dalam jabatan publik yang dapat memberikan dampak luas bagi masyarakat.

Di Indonesia sendiri, isu pemberdayaan perempuan apalagi mendorong perempuan agar banyak yang menjadi pemimpin dalam berbagai sektor belum menjadi isu arus utama atau menjadi topik yang selalu hangat dibicarakan masyarakat secara luas.

Jangankan terkait kepemimpinan perempuan, Isu-isu dasar seputar perempuan, utamanya pengetahuan dan kesadaran soal kesetaraan dengan laki-laki di ruang publik atau rumah tangga, masih terbatas bagi mereka yang berada di dunia akademik karena memilki akses yang luas pada pengetahuan. Atau mereka yang bergelut dengan isu perempuan dan memiliki kultur kesalingan ayah dan Ibu dalam keluarga (melihat tradisi keluarga).

Oleh karena itu, dengan kondisi masyarakat yang mayoritas masih “buta huruf” terkait isu perempuan atau paling dasar saja, yaitu menghormati dan menghargai perempuan. Pada akhirnya, menjadi fenomena gunung es, di mana kekerasan terhadap perempuan, baik verbal maupun non verbal masih marak di tengah-tengah masyarakat kita.

Data berbicara, menurut Sekretaris Kementerian Pemberdayaan Perempuan dan Perlindungan Anak, Pribudiarta Nur Sitepu, secara nasional persentase kekerasan pada perempuan dan anak sangat mengkhawatirkan. Satu dari tiga perempuan di Indonesia atau 30 persen perempuan mengalami kekerasan dan dua dari tiga anak atau 60 persen anak di Indonesia mengalami kekerasan. (Investor.id)

Yang sangat mengkhawatirkan, di masa pademi ini, dimana seharusnya atau idealnya semua pasangan itu meningkatkan kekompakan dan kerjasama selama di rumah aja. Namun, data dari LBH Apik menampilkan ironi, yaitu adanya peningkatan kasus kekerasan terhadap perempuan, terutama di Jakarta. Sejak pertengahan Maret 2020 hingga 7 Juni 2020, jumlah kekerasan perempuan di Jakarta meningkat dari 704 kasus pada 2019 atau 30 kasus per bulan menjadi 90 kasus per bulan.

Bagaimana dengan kondisi secara nasional? Mudahnya, kita lihat berita-berita di media. Terutama kekerasan seksual verbal maupun non-verbal pada perempuan, karena kasus ini biasanya mendapatkan atensi lebih daripada kasus kekerasan lainya, karena korban akan mengalami trauma yang berat dan depresi. Bahkan kasus perkosaan di Tangerang Selatan baru baru ini korbanya sampai meninggal dunia (11/6).

Melihat kasus-kasus yang mengkhawatirkan, maka kondisi darurat kekerasan terhadap perempuan di negeri ini harus segera diakhiri. Relasi kuasa yang tidak seimbang antara laki-laki dan perempuan menjadi salah satu faktor pemicu kekerasan terhadap perempuan tidak pernah berhenti.

Kesuksesan para pemimpin perempuan di beberapa negara dalam menangani Covid-19 harus dijadikan momentum perubahan paradigma masyarakat dalam melihat perempuan. Fakta ini mebuktikan bahwa perempuan ketika diberi peluang mampu menunjukan  eksistensi dan tentu mengeluarkan kelebihan-kelebihan yang selama ini tidak dimiliki oleh laki-laki.

Perempuan tidak sekadar harus dihormati atau dihargai. Harus melampaui itu. Perlu ada kesadaran seluruh masyarakat untuk mendorong perempuan-perempuan Indonesia menempati posisi-posisi srategis sehingga perubahan-perubahan yang positif dapat dilakukan.

Dan pada akhirnya, relasi kuasa perlahan akan semakin seimbang seiring banyaknya perempuan yang berhasil meberikan dampak nyata bagi masyarakat itu sendiri. Terutama dalam menangani wabah Covid-19 yang masih menjadi ancaman serius bagi bangsa ini, dimana kasus positif hingga bulan Juni masih menginjak angka 1000-an per hari.

Belajar dari Aisyiah

Banyak pengamat tampaknya percaya bahwa keberhasilan para pemimpin perempuan dalam menangani Covid-19 diduga berakar pada kualitas "feminin" tradisional mereka, seperti empati, kasih sayang, dan kemauan untuk berkolaborasi. Kelebihan-kelebihan ini tentu tidak sepenuhnya dimiliki oleh laki-laki (Raj Persaud, 2020).

Hal itu pulalah sepertinya yang menjadikan Aisyiah, organisasi perempuan pertama di Indonesia mendapatkan banyak apresiasi dalam program eleminasi penyakit TBC di Indonesia. Tak tanggung-tanggung pada tahun 2017, Aisyiyah menjadi salah satu organisasi yang mendapatkan penghargaan MURI pada puncak Peringatan Hari TB Sedunia setelah berhasil mengetuk pintu terbanyak dalam program Ketuk Pintu Cari Penderita TB.

Tanpa adanya empati, kasih sayang dan kolaborasi antar lini yang dilakukan oleh Aisyiah dalam program eleminasi TBC hingga mendapatkan Rekor MURI, tentu tidak akan tercapai. Sepak terjang organisasi yang melahirkan Guru Besar perempuan pertama di Indonesia (Prof Siti Baroroh Baried), hingga saat ini terus konsisten dan melakukan inovasi-inovasi dengan didukung oleh jaringan yang merata di berbagai daerah.

Sebagai contoh, di tengah pandemi Covid-19, Aisiyiah memuncurkan gerakan skrining online di masyarakat. Menurut Tuti Alawiyah, Program Manager Community-Care TBC-HIV Aisyiyah, Skrining online merupakan pengganti dari kegiatan yang selama bertahun-tahun telah dilakukan secara langsung dengan tatap muka. Penyuluhan terhadap komunitas juga dilakukan secara virtual melalui grup-grup WhatsApp dan melalui sarana video conference call.

Gerakan kongkrit dan inovatif yang dilakukan Aisyiah di atas layak untuk dijadikan percontohan dalam menangani Covid-19. Salah satunya bagaimana mengedukasi masyarakat secara luas agar tetap mematuhi protokol kesehatan. Menurunkan TNI-Polri untuk mendispilinkan masyarakat sangat perlu, tapi pendekatan yang lebih humanis dan keibuaan penting untuk dilakukan agar masyarakat tetap merasa nyaman dalam beraktivitas di masa New Normal ini,

Tidak hanya itu, karena Aisyiah terbukti memiliki prestasi dalam program eleminasi TBC, akan sangat baik jika pemerintah menggandeng Aisiyiah dan tentu organiasi perempuan lainya agar memiliki peran strategis dan turut serta dalam merumuskan dan mengimplementasikan kebijakan dalam menangani Covid-19. Hanya menjadikan perempuan sebagai juru bicara Satgas Covid-19, itu sama halnya dengan masih meragukan kapasitas kepemimpinan perempuan. Sekian! 

(Program Manager International Centre for Islam and Pluralism (ICIP)
BERIKUTNYA
SEBELUMNYA
Ikuti kami di Google Berita