GELORA.CO - Ketua Umum Majelis Tinggi Agama Konghucu Indonesia (Matakin) Uung Sendana tragedi kematian George Floyd (46) di Amerika Serikat mengingatkan soal isu suku, agama, ras, dan antargolongan (SARA) yang selalu muncul di Indonesia di kala Pemilu.
"Sekarang setiap pemilu juga kita selalu menghadapi persoalan senantiasa adanya diusung masalah-masalah SARA ini," kata dia, dalam diskusi secara daring, Kamis (11/6).
"Terus terang bagi kita Indonesia sekarang ini terutama untuk golongan etnis Tionghoa itu masih sering menghadapi persoalan," lanjutnya.
Kasus Flod ini, lanjut Uung, muncul akibat rasialisme dan "superioritas ras tertentu". Hal yang sama terjadi di dalam negeri. Indonesia, yang telah merdeka sejak 75 tahun, masih memiliki isu rasialisme yang sama.
"Setelah 75 tahun kita masih merasakan beberapa persoalan di negara kita terutama di dalam bidang SARA," katanya.
Pada kesempatan yang sama, Ketua Dewan Nasional Pergerakan Indonesia Maju (DN PIM) Din Syamsuddin mengatakan kemajemukan Indonesia lebih kompleks daripada Amerika Serikat. Perpecahan antar-golongan ini pun rentan terjadi, terutama jika ada faktor-faktor yang memicunya, seperti soal ketidakadilan.
"Negara dan aparat negara harus hadir menegakan hukum secara berkeadilan," katanya.
Senada, Uung menyebut aparat harus hadir dengan standar operasi yang benar dalam masalah rasialisme dan bukan malah menambah kericuhan.
"Jadi dari sini kita juga bisa bercermin bahwa aparat negara hadir itu harus mengikuti SOP dengan benar. Mereka tetap harus kendalikan ketertiban dan keamanan, tetapi mereka harus mengikuti prosedur yang benar," jelasnya.
Diketahui, masalah SARA sempat muncul setidaknya pada Pilpres 2014 dan 2019. Salah satu tudingannya, Presiden Jokowi merupakan keturunan China. Selain itu, ada isu utang dari Negeri Tirai Bambu dan tenaga kerjanya yang akan membuat mereka menguasai Indonesia.
Jokowi dan Pemerintah berulangkali membantah isu-isu tersebut dan menyatakannya sebagai hoaks.
Selain itu, ada isu politik identitas yang menerpa salah satu kandidat di Pilkada DKI 2017.
Jauh ke belakang, sentimen anti-tionghoa mencuat saat kerusuhan 1998. Sejumlah provokator di berbagai daerah mengarahkan massa untuk membakar dan menjarah fasilitas perniagaan milik keturunan Tionghoa, serta melakukan perkosaan terhadap warga etnis ini.
Namun, proses penegakan hukum sejauh ini belum mampu mengungkap aktor di balik tragedi tersebut. [cnn]