GELORA.CO - Isu “rasisme hukum” dalam kasus kematian pria keturunan Afro-Amerika, George Floyd, oleh polisi kulit putih mengguncang banyak negara bagian AS.
Gerakan ‘Black Lives Matter’ era Trayvon Martin 2013 diusung sebagai massa pendemo Pemerintahan AS.
Belakangan, di Indonesia, diskusi publik bertajuk “PapuanLivesMatter Rasisme Hukum di Papua”, yang diselenggarakan oleh Badan Eksekutif Mahasiswa (BEM) UI pada Sabtu (06/06), telah memunculkan polemik tidak berujung.
Otoritas Universitas Indonesia menyatakan diskusi daring yang menghadirkan DPO dugaan ujaran kebencian Veronica Koman itu tidak layak.
Kepala Biro Humas dan KIP UI, Amelita Lusia, menyatakan, proses perancangan kegiatan diskusi itu tidak cermat dan proses penyelenggaraannya melanggar peraturan dan tata cara yang ditetapkan UI. Sehingga UI menyatakan kegiatan diskusi tersebut, berikut apapun yang dibahas dan dihasilkan, tidak mencerminkan pandangan dan sikap UI sebagai suatu institusi dan tidak menjadi tanggung jawab UI.
Penulis yang juga aktivis perempuan Intan Paramaditha mengecam ‘sensor’ kajian akademik di UI tersebut. Intan juga menyoal surat klarifikasi pihak UI, dengan menyebut ‘anti-akademik’.
“Malu melihat kajian akademik dijadikan dalih sensor diskusi tentang keadilan sosial. Surat arogan namun argumen rapuh, anti-akademik. Teman-teman progresif yang mengajar di UI tentu tidak rela diwakili oleh pernyataan institusi yanng menyinggung intelektualitas dan integritas seperti ini?,” tulis Intan di akun Twitter @sihirperempuan menyertakan capture surat yang dimaksud.
Guru besar sosiologi UI Tamrin Tomagola menanggapi cuitan @sihirperempuan. “Kampus nya PNS dalam cengkeraman Negara sejak Orba,” tegas Tamrin di akun @tamrintomagola.
Wartawan senior yang juga aktivis HAM Dandhy Laksono menyebut klarifikasi UI itu sebagai tindakan arogan.
“Arogannya UI sebagai lembaga akademik. Dua pembicara dari Papua (pengacara dan tahanan politik) serta Veronica Koman (juga pengacara) dianggap tidak layak bicara tentang hukum. Begini saja, UI tunjuk profesornya yang terhebat, lalu bikin debat terbuka dengan kawan Papua. Berani?,” tantang Dandhy di akun @Dandhy_Laksono.
Siapa yang bertanggungjawab atas pelarangan diskusi akademik di kampus? “Sebagai Kepala Negara dan Pemerintahan, Presiden punya andil besar menciptakan iklim yang demokratis. Tapi selama ini dia tak punya visi atau mengirim pesan terbuka tentang ini. Maka kini dianggap "normal baru". Kecuali menurut Anda tugas presiden bagi-bagi sembako dan difoto,” sindir @Dandhy_Laksono meretweet cuitan akun @Mhrs_Fahmi.
Politisi senior Rachland Nashidik, mencoba membandingkan sikap masing-masing Presiden RI terkait kasus Papua dan Aceh.
“Semua Presiden Indonesia satu sikap tentang Papua dan Aceh. Tapi ada yang memilih jalan militer dan ada yang memilih jalan damai. Soeharto dan Megawati memilih yang pertama. Habibie, Gus Dur dan SBY memilih jalan kedua. Jokowi? Mirip Megawati, ia memerintahkan remiliterisasi,” catat Rachland di akun @RachlanNashidik.
Khusus sikap Pemerintahan Jokowi pada kasus Papua, @RachlandNashidik mencatat: “Presiden Jokowi pada 2015 memberi grasi dan membebaskan lima kombatan OPM pelaku serangan ke gudang senjata di markas Kodim Wamena pada 2003. 2020: Kenapa Jokowi biarkan mahasiswa Papua didakwa separatis dan ancaman dibui belasan tahun hanya karena aksi protes damai menentang rasisme?”.
“Normal baru atau normal Orde Baru?” sindir @RachlandNashidik. (itoday)