GELORA.CO - Pemerintahan Presiden Joko Widodo melalui Menteri Keuangan Sri Mulyani Indrawati dipandang hanya mengandalkan utang untuk mengatasi perekonomian di Indonesia.
Pandangan tersebut dikatakan pakar ekonomi Dradjad Wibowo dalam webinar bertema "Negara Harus Bagaimana Pasca Covid-19: Perspektif Hukum, Ekonomi dan Pendidikan" yang diselenggarakan oleh Pimpinan Wilayah Pemuda Muhammadiyah NTB, Jumat (12/6).
"Memang yang paling cepat sekarang nih utang, tapi itu gak terhindarkan untuk berutang. Akan tetapi yang menjadi masalah adalah kita ini seperti kecanduan utang, dikit-dikit larinya ke utang, dikit-dikit larinya ke utang," ucap Dradjad.
Apalagi kata Dradjad, Indonesia harus membayar lebih yield atau kupon atau bunga utang melebih negara lain seperti Filipina.
"Kementerian Keuangan dengan cukup bangga mengatakan berhasil menerbitkan utang dolar pada sekitar akhir April atau awal Mei, surat utang dolar serinya RI 0130 kemudian tenornya 10,5 tahun yieldnya 3,9 persen," jelas Dradjad.
Padahal kata Dradjad, Filipina dengan tenor yang sama, bunga utangnya hanya sebesar 2,457 persen.
"Kita terkena yield itu 3,9 persen. Nah waktu itu dikatakan itu murah, saya coba cek di Filipina ternyata pada tanggal 28 April 2020 itu bendahara nasionalnya itu mengatakan Filipina baru saja memperoleh dana dari dari obligasi dolar pemerintah sebagai 2,35 miliar dolar dan yang untuk tenor 10 tahun itu ada 1 miliar dolar itu kuponnya hanya 2,457 persen," jelasnya.
Sehingga kata dia, Indonesia harus membayar yield 1,4 persen lebih mahal dibanding Filipina.
"Untuk 1 miliar berarti 14 juta dolar lebih mahal, kalau dikalikan kurs sekarang mungkin sekitar Rp 160an miliar mungkin ya tiap tahun harus bayar dibanding Filipina," terang Dradjad.
Dradjad melanjutkan, ia mengaku mempunyai cara alternatif lain yang tidak ada di dalam buku teks ekonomi agar mendapatkan uang tanpa melakukan utang.
"Ada cari lain, dan cara itu pernah saya lakukan ketika saya membantu BIN, cara-cara ini memang nggak mudah, harus sangat terukur dan harus sangat tepat ngaturnya, karena kalau tidak efeknya akan panjang," katanya.
"Dan orang-orang yang ditaruh disitu juga harus orang yang memang full komitmennya untuk keuangan negara, bukan untuk galang dana bagi partai apalagi perkaya diri sendiri untuk korupsi," pungkasnya. (*)