GELORA.CO - Amerika Serikat sedang diguncang kemarahan rakyat menyusul kematian George Perry Floyd akibat penyiksaan yang dilakukan polisi.
Menyusul peristiwa itu, aksi protes yang diikuti pengrusakan dan bentrokan antara demonstran dengan polisi terjadi di banyak kota. Aksi protes juga dilakukan di depan Gedung Putih di Washington DC.
George Flyod, seorang pria kulit hitam dari Houston, Texas, tewas di Minnesota, Minneapolis, hari Senin lalu (25/5). Ia tewas setelah anggota Kepolisian Minneapolis, Derek Michael Chauvin, menekan lehernya dengan menggunakan lutut.
Presiden Asosiasi Uighurs di Amerika Serikat, Ilshat Kokbore, dalam twit di akun pribadi @HKokbore mengingatkan bahwa peristiwa yang dialami George Flyod juga kerap terjadi terhadap warga Uighur di China.
Dalam twitnya itu, Ilshat Kokbore mengunggah rekaman video amatir yang memperlihatkan seorang polisi China sedang menindih seorang wanita di atas kursi. Sang polisi juga terlihat marah saat mengetahui aksi brutalnya itu direkam.
“She can’t breathe,” tulis Ilshat Kokbore.
“Semua rakyat China tidak dapat bernafas. Bangsa Uighur yang berada di kamp konsentrasi, di dalam penjara, dalam kerja paksa, mereka semua tidak bisa bernafas. Bangsa Tibet tidak dapat bernafas. Hongkong tidak dapat bernafas,” sambungnya.
Di sisi lain, pihak Republik Rakyat China tampaknya memanfaatkan kemarahan rakyat Amerika Serikat itu untuk menekan pemerintahan Donald Trump.
Selain menurunkan berita mengenai peristiwa tragis itu, Kantor Berita Xinhua melalui akun Twitter @XHNews, misalnya, juga menggarisbawahi rasialisme yang masih mewarnai Amerika Serikat.
“I can’t breathe.” Begitu tulis akun itu dalam salah satu twitnya. Itu adalah kutipan dari kalimat yang diucapkan George Flyod ketika anggota
Dalam twit yang sama sekitar satu jam lalu, Xinhua menyertakan sebuah klip berdurasi 2 menit 20 detik berisi potongan berbagai peristiwa yang memperlihatkan sikap brutal polisi Amerika Serikat saat menangani warga kulit hitam. (Rmol)