GELORA.CO - Diskusi virtual tentang 'Persoalan Pemecatan Presiden di Tengah Pandemi Ditinjau dari Sistem Ketatanegaraan' yang hendak digelar Constitutional Law Society (CLS) atau Komunitas Hukum Tata Negara Fakultas Hukum Universitas Gadjah Mada (UGM) diteror.
Para penyelenggara bahkan mendapat ancaman pembunuhan. Hingga kini tak jelas siapa pelaku teror dan apa motifnya itu.
Pakar Hukum Tata Negara, Refly Harun mengatakan, pascareformasi, pihak tertentu masih sulit membedakan antara wacana dan gerakan memberhentikan presiden dan wakil presiden. Padahal, antara wacana dan gerakan memberhentikan presiden merupakan dua hal berbeda.
Wacana hanya sebatas membahas mekanisme pemberhentian presiden. Sementara gerakan lebih kepada tindakan kelompok besar yang mendatangi DPR untuk menyatakan bahwa presiden telah melakukan pelanggaran hukum berupa pengkhianatan terhadap negara. Kelompok tersebut juga mendorong DPR menggelar hak angket.
"Jadi orang kadang-kadang menjudgement sesuatu padahal sesuatu itu wacana dan wacana itu bahkan akademik," katanya dalam diskusi yang disiarkan melalui YouTube Mahutama, Senin (1/6).
Menurut Refly, mendiskusikan soal pemakzulan atau impeachment presiden tidak bisa dilarang. Sebab, impeachment ada dalam konstitusi. Dalam UUD 1945 Pasal 7A, Pasal 7B dan Pasal 24C tercantum penjelasan mekanisme impeachment kepala negara.
Namun, jika di negara yang menjunjung asas demokrasi dilarang mendiskusikan impeachment presiden, maka Refly menyarankan, agar ayat yang mengatur pemakzulan dalam konstitusi tersebut dihapus atau dibuang.
"Kalau kita tidak bisa membicarakan pemakzulan atau impeachment ya buang saja ayat-ayat konstitusi pasal 7A," ujarnya.
Fakta Sejarah
Mantan Komisaris Pelindo I ini mengingatkan, membahas impeachment presiden sama saja membahas fakta sejarah. Jika membuka kembali sejarah, kata Refly, impeachment presiden terjadi sebanyak dua kali.
Pertama terjadi ketika masa kepemimpinan Soekarno. Saat itu, Presiden Soekarno dimakzulkan setelah terjadi pemberontakan G30 S PKI.
Kedua terjadi saat kepemimpinan Abdurrahman Wahid. Abdurrahman Wahid atau yang dikenal dengan sapaan Gus Dur dimakzulkan karena subjektifitas politik.
"Jadi secara akademik wacana seperti ini sah-sah saja karena ini fakta sejarah, fakta akademik," tegasnya. (*)