Oleh:Suparji Achmad
RAKYAT Indonesia bertanya-tanya apa yang akan terjadi pasca pandemik Covid-19, meskipun hingga kini belum ada yang dapat memprediksi kapan virus yang belum ditemukan vaksinnya ini berakhir.
Pemerintah memang sudah mempersiapkan kehidupan baru atau new normal pasca penerapan kebijakan Pembatasan Sosial Berskala Besar (PSBB) dilonggarkan, tetapi hal itu dipertentangkan oleh banyak pihak. Sebab, penyebaran Covid-19 di Tanah Air masih tinggi.
Hal itu bisa dilihat dari update data Covid-19 per 8 Juni 2020, dimana terdapat 32.033 kasus sejak kasus pasien pertama positif diumumkan pada awal Maret 2020, atau terjadi penambahan 847 kasus dari hari sebelumnya. Rinciannya 19.246 pasien dirawat, 1.883 meningga dunia dan 10.904 pasien dinyatakan sembuh.
Rakyat Indonesia juga bertanya-tanya, apakah pasca pandemik Covid-19, negara yang merdeka pada 17 Agustus 1945 ini bisa bangkit atau menjadi negara maju seperti nama Kabinet Pemerintahan Jokowi-Maruf Amin, yakni Kabinet Indonesia Maju?
Begitu juga rakyat Indonesia menagih janji kampanye maupun program prioritas Presiden Jokowi pada periode kedua kepemimpinannya yang ingin membuat Indonesia Maju dapat terwujud? Ini bisa disebut paradoks. Mengapa demikian? Mari kita bahas satu per satu.
Pasca Presiden dan Wakil Presiden Jokowi-Maruf Amin dilantik serta Kabinet Indonesia Maju dibentuk pada Oktober 2019, Presiden Jokowi dalam pidato pelantikannya di Gedung Parlemen, Senayan, Jakarta, Minggu (20/10/2019), membeberkan lima program kerja atau sejumlah prioritas yang akan dikerjakannya bersama Wakil Presiden Maruf Amin selama lima tahun mendatang.
Pertama, pembangunan sumber daya manusia. Upaya tersebut dilakukan untuk merespons bonus demografi yang menciptakan peluang tersendiri. Jokowi ingin menciptakan generasi pekerja keras yang dinamis, menguasai ilmu pengetahuan dan teknologi.
Kedua, pembangunan infrastruktur. Pembangunan infrastruktur, akan terus dilanjutkan untuk mendukung aktivitas masyarakat, termasuk untuk mendukung pengembangan perekonomian dan kemudahan aksesibilitas.
Ketiga, penyederhanaan segala bentuk kendala regulasi. Karena itu, Jokowi akan mengajak DPR untuk menerbitkan dua undang-undang besar, yakni UU Cipta Lapangan Kerja dan UU Pemberdayaan UMKM. UU tersebut akan merevisi Undang-Undang yang dinilai menghambat tercapainya lapangan kerja dan UMKM.
Keempat, penyederhanaan birokrasi. Jokowi juga bertekad untuk memotong birokrasi yang panjang dan penyederhanaan eselonisasi. Ia mengaku akan membuat eselon menjadi dua level saja, yaitu tingkat fungsional yang menghargai kompetensi dan keahlian.
Kelima, transformasi ekonomi bahwa negara akan fokus pada upaya transformasi dari ketergantungan sumber daya alam ke daya saing manufaktur dan jasa modern yang mempunyai nilai tambah tinggi bagi kemakmuran bagsa.
Berikutnya terdapat 10 janji Kampanye Jokowi-Maruf Amin pada Pilpres 2020. Yakni, kemiskinan turun dan kartu sembako murah, klaim jaminan pendidikan dan Kartu Indonesia Pintar (KIP) Kuliah, program Mekar dan UMI (Pembiayaan Ultra Mikro), sertifikasi tanah dan konsesi lahan, dana desa akan capai Rp 400 triliun, koperasi petani dan bank mikro nelayan, rasio elektrifikasi dan pemanfaatan energi terbarukan, kartu Pra-Kerja, permudah usaha generasi muda dan akses internet cepat.
Janji-janji maupun program-program prioritas tersebut secara keseluruhan sangat baik dan dapat mewujudkan Indonesia maju. Berjalannya waktu, hal itu sulit terwujud akibat adanya pandemi Covid-19 yang melanda Indonesia sejak Maret 2020. Sehingga menjadi skeptis terhadap terwujudnya janji-janji maupun program-program pemerintah tersebut. Tentunya terdapat indikator yang menyebabkan hal itu batal terwujud.
Pertama, akibat kebijakan PSBB yang dipilih pemerintah untuk mencegah penyebaran Covid-19 pada akhir Maret 2020, membuat rakyat Indonesia hidup serba keterbatasan.
Mengutip Pasal 1 ayat 11 Undang-Undang (UU) Nomor 6 Tahun 2018 tentang Karantina Kesehatan, PSBB adalah pembatasan kegiatan tertentu penduduk dalam suatu wilayah yang diduga terinfeksi penyakit dan/atau terkontaminasi sedemikian rupa untuk mencegah kemungkinan penyebaran penyakit atau kontaminasi. Kebijakan tersebut paling sedikit meliputi peliburan sekolah dan tempat kerja, pembatasan kegiatan keagamaan dan pembatasan kegiatan di tempat atau fasilitas umum.
Maka dari itu, berbagai aktivitas seperti yang disebutkan dalam UU Karantina Kesehatan, dilakukan dirumah. Kebijakan tersebut tentunya berdampak pada perekonomian Indonesia. Hal itu bisa dilihat dari pernyataan Menteri Keuangan Sri Mulyani pada Mei 2020 yang mencatat jika skenario sangat berat atau pertumbuhan ekonomi terkontraksi 0,4 persen akan ada tambahan penganggur 5,23 juta orang. Bila ekonomi masih tumbuh 2,3 persen, maka pengangguran bertambah 2,92 juta orang.
Sementara berdasarkan data Kementerian Ketenagakerjaan, ada 1,7 juta orang yang mengalami PHK dan dirumahkan sepanjang pandemi Covid-19 di Indonesia. Jumlah tersebut masih ditambah dengan 314.833 orang pekerja sektor informal yang juga terdampak Covid-19. Belum lagi berdasarkan data yang dimiliki Kamar Dagang dan Industri (Kadin) Indonesia, jumlah pengangguran sudah bertambah lebih dari 10 juta orang akibat pandemi Covid-19.
Untuk mengatasi hal itu, pemerintah mempunyai program Kartu Pra Kerja yang diluncurkan pada April 2020. Program itu menghabiskan anggaran sebesar Rp 20 triliun untuk 5,6 juta peserta. Sementara jumlah peserta yang mendaftar per Mei 2020 sebanyak 10,4 juta.
Ada banyak hal yang sangat perlu diperhatikan pada program kartu prakerja ini. Antara lain, soal kepesertaan, proses seleksi, persebaran kepesertaan, metode pelatihan, lembaga pelatihan, dan link and match dengan dunia usaha. Dari sekian banyak hal yang perlu diperhatikan tersebut, keberadaan lembaga pelatihan menjadi hal yang paling disoroti. Sebab, salah satu kunci keberhasilan program ini terletak pada lembaga pelatihan yang diajak kerja sama.
Sebagaimana disebutkan pemerintah, setiap pelatihan kerja yang dilakukan, pemerintah menyiapkan Rp3,55 juta per orang. Dari 3,55 juta itu, 1 juta di antaranya akan dipergunakan untuk biaya pelatihan. Sementara, para peserta mendapatkan Rp 600 ribu per bulan untuk empat bulan ke depan.
Untuk angka kemiskinan, Sri Mulyani memperkirakan pada skenario sangat berat, jumlah orang miskin bisa bertambah 4,86 juta. Lalu jika skenario berat, jumlah orang miskin bertambah 1,89 juta orang. Sementara berdasarkan data BPS per September 2019, jumlah orang miskin di Indonesia sebesar 24,79 juta. Selanjutnya Institute for Development of Economics and Finance (Indef) mencatat saat ini ada 115 juta masyarakat rentan miskin. Golongan inilah yang ketika terkena bencana seperti Covid-19 ini akan rentan ke bawah garis kemiskinan.
Untuk mengatasi hal itu, Presiden Jokowi mengeluarkan Peraturan Pemerintah Pengganti Undang-undang (Perppu) tentang Stabilitas Perekonomian di masa pandemi corona, yang sudah disahkan menjadi Undang-Undang oleh DPR dan pemerintah belum lama ini.
Melalui UU tersebut pemerintah menggelontorkan anggaran untuk mengatasi Covid-19 melalui APBN 2020 sebesar Rp 405,1 triliun, dimana Rp 110 trilliun akan dialokasikan untuk perlindungan sosial yang mencakup anggaran Kartu Prakerja, cadangan logistik sembako, dan subsidi listrik bagi pelanggan dengan 450 VA dan 900 VA. Lagi-lagi, anggaran tersebut tidak sepenuhnya sampai ke tangan rakyat akibat pendataan yang tidak akurat.
Kedua, pembangunan menurun. Hal itu bisa dilihat dari pemerintah hanya mampu merealisasikan 89 proyek dari 245 usulan sebagai proyek strategis nasional baru tahun 2020-2024. Pembangunan berbagai proyek jalan, jembatan, bandara, kawasan industri, dan sarana lain senilai Rp 1.422 triliun, diklaim pemerintah jalan terus demi mendorong peningkatan perekonomian serta penciptaan lapangan kerja baru.
Ketiga, pembinaan agama menurun. Hal itu akibat berbagai aktivitas keagamaan dibatasi. Untuk umat Islam misalnya, beberapa kali tidak ada ibadah sholat jumat, sholat terawih dan sholat Idul Fitri berjamaah di masjid maupun musholah dilakukan secara terbatas. Baru pada 5 Juni 2020, di Jakarta misalnya yang sudah menerapkan masa transisi PSBB, umat Islam diperbolehkan melaksanakan Shalat Jumat berjamaah di masjid. Itu pun dibatasi kapasitasnya hanya 50 persen dan juga harus mematuhi protokol kesehatan seperti memakai masker, jaga jarak dan lainnya.
Keempat, masyarakat tidak bisa rekreasi akibat tempat-tempat wisata, pusat perbelajaan seperti Mall, tempat hiburan malam/tempat karaoke, ditutup atau tidak boleh beraktivitas selama kebijakan PSBB belum dicabut oleh pemerintah pusat maupun daerah selama pandemi Covid-19. Di DKI Jakarta misalnya, tempat-tempat tersebut baru diperbolehkan beroperasi secara bertahap mulai 15 Juni 2020.
Artinya, kualitas SDM masyarakat menjadi menurun akibat tidak bisa berekreasi. Padahal hal itu sangat dibutuhkan untuk mengurangi tingkat stres masyarakat akibat pandemik ini.
Kelima, keadilan hukum disangsikan. Sebab selama pandemi Covid 19, persidangan perkara pidana digela secara online atau virtual. Hal itu berawal diterbitkannya Surat Edaran Mahkamah Agung (SEMA) No. 1 Tahun 2020 tentang Pedoman Pelaksanaan Tugas Selama Masa Pencegahan Penyebaran Covid-19 di Lingkungan MA dan Badan Peradilan di bawahnya tertanggal 23 Maret 2020, persidangan perkara pidana tetap dilaksanakan khusus terhadap perkara-perkara yang terdakwanya sedang ditahan dan penahanannya tidak dapat diperpanjang lagi selama masa pencegahan Covid-19.
Persidangan perkara pidana, pidana militer, jinayat terhadap terdakwa yang secara hukum penahanannya masih beralasan untuk dapat diperpanjang, ditunda sampai berakhirnya masa pencegahan penyebaran Covid-19 di lingkungan MA dan Badan Peradilan di bawahnya. Namun, MA, Kejaksaan, Kepolisian, dan Ditjen Pemasyarakatan sepakat menandatangani Nota Kesepahaman tentang Pelaksanaan Sidang Perkara Pidana melalui Konferensi Video dalam Rangka Pencegahan Covid-19 pada 13 April 2020.
Persidangan secara virtual menemui berbagai kendala. Salah satunya terkait terbatas pembuktian dipersidangan. Padahal pembuktian adalah tahapan penting dalam peradilan untuk menampakkan bahwa terdakwa bersalah atau tidak.
Dalam hukum pembuktian, untuk melindungi kepentingan umum, Kejaksaan sebagai alat negara ditugaskan untuk melakukan beban pembuktian sekaligus guna melakukan tuntutan pidana. Sementara hakim dalam perkara pidana diwajibkan untuk mencari kebenaran materiil. Hakikat pembuktian dalam persidangan perkara pidana amat terasa urgen
Rekaman sekilas tentang siatuasi karena covid-19 di atas, menjadi tantangan yang harus diwujudkan dengan kerja-kerja nyata yang solutif dan produktif, tidak sekedar retoris yang tidak aspiratif. Optimisme yang digelorakan untuk Indonesia Maju harus dirawat dengan rasional dan obyektif, tidak dengan imaginatif dan ilusioner serta jauh dari orientasi mobilitas politik maupun mobilitas ekonomi.
Solidaritas dan soliditas kolektif baik di tingkat elit maupun di masyarakat harus tetap dijaga dengan baik dan benar. Hal inilah modal sosial untuk tetap konsisten bahwa Indonesia akan maju.
(Pakar Hukum Pidana dari Universitas Al Azhar Indonesia)