Covid-19 Bukan Pandemi Terakhir, Ilmuwan Peringatkan Ada Penyakit Baru

Covid-19 Bukan Pandemi Terakhir, Ilmuwan Peringatkan Ada Penyakit Baru

Gelora News
facebook twitter whatsapp

GELORA.CO - Kita telah menciptakan "badai" untuk penyakit dari satwa liar menyebar ke manusia dan menyebar dengan cepat ke seluruh dunia, para ilmuwan memperingatkan.

Perambahan hutan mempercepat proses itu.

Pandangan ini datang dari para ahli kesehatan global yang mempelajari bagaimana dan di mana penyakit baru muncul.

Sebagai bagian dari upaya itu, mereka sekarang telah mengembangkan sistem pengenalan pola untuk memprediksi penyakit hewan liar mana yang paling berisiko bagi manusia.

Upaya ini dipimpin oleh ilmuwan dari Universitas Liverpool, Inggris, namun itu merupakan bagian dari upaya global untuk mengembangkan cara untuk mempersiapkan dengan baik penangangan pandemi di masa mendatang.

'Kami menghindari lima peluru'

"Selama 20 tahun terakhir, kita memiliki enam ancaman signifikan - SARS, MERS, Ebola, flu burung dan flu babi," ujar Profesor Matthew Baylis dari Universitas Liverpool kepada BBC News.

"Kita telah menghindari lima peluru, namun yang keenam mengenai kita.

"Dan ini bukan pandemi terakhir yang akan kita hadapi, jadi kita perlu untuk menilik penyakit dari alam liar secara lebih dekat."

Sebagai bagian dari pemeriksaan, dia dan koleganya telah mendesain sistem prediksi pola yang menyediakan data tentang penyakit alam liar yang sudah kita ketahui.

Dari ribuan bakteri, parasit dan virus yang telah diketahui sains, sistem ini mengidentifikasi petunjuk yang terkubur dalam jumlah dan jenis spesies yang mereka infeksi.

Sistem itu menggunakan petunjuk-petunjuk tersebut untuk menyorot mana yang paling mengancam manusia.

Jika sebuah patogen ditandai sebagai prioritas, para ilmuwan bisa langsung melakukan penelitian untuk menemukan pencegahan atau perawatan sebelum wabah terjadi.

"Ini akan menjadi langkah lain, selain mencari tahu penyakit mana yang bisa menjadi pandemi, namun kita telah membuat kemajuan dalam langkah pertama ini," ujar Baylis.

Pelajaran dari karantina wilayah

Banyak ilmuwan menyepakati bahwa perilaku kita - khususnya penggundulan dan perambahan hutan yang kita lakukan dan mempengaruhi habitat satwa liar yang beragam - membantu penyakit menyebar dari hewan ke manusia lebih sering.

Menurut Profesor Kate Jones dari University College London, bukti "secara luas menunjukkan bahwa ekosistem yang diubah manusia menjadi ekosistem dengan keanekaragaman hayati yang lebih rendah, seperti lanskap pertanian atau perkebunan, sering dikaitkan dengan peningkatan risiko banyak infeksi pada manusia".

"Itu bukan satu-satunya masalah dalam semua penyakit," ujarnya.

"Tetapi jenis-jenis satwa liar yang paling toleran terhadap gangguan manusia, seperti spesies hewan pengerat tertentu, sering tampak lebih efektif dalam mentransmisikan patogen.

"Jadi hilangnya keanekaragaman hayati dapat menciptakan lanskap yang meningkatkan kontak manusia-satwa liar yang berisiko dan meningkatkan kemungkinan virus, bakteri, dan parasit tertentu menyebar ke manusia."

Ada wabah tertentu yang telah menunjukkan risiko ini di "pertemuan" antara aktivitas manusia dan satwa liar dengan kejelasan yang menghancurkan.

Dalam wabah pertama virus Nipah pada tahun 1999 di Malaysia, infeksi virus - yang dibawa oleh kelelawar buah - meluas ke peternakan babi besar yang dibangun di tepi hutan.

Dua kucing New York jadi hewan peliharaan pertama di AS yang positif Covid-19 Manusia di rumah, kucing dan singa menguasai jalan Virus corona: Berpacu menemukan hewan yang jadi sumber penularan penyakit

Kelelawar buah liar diberi makan di bawah pohon buah-buahan dan babi mengunyah buah setengah dimakan yang jatuh dari pohon dan ditutupi air liur kelelawar.

Lebih dari 250 orang yang bekerja dalam kontak dekat dengan babi yang terinfeksi terjangkit virus. Lebih dari 100 orang meninggal.

Angka fatalitas kasus dari virus korona masih muncul, tetapi perkiraan saat ini sekitar 1%.

Virus nipah membunuh 40-75% orang yang terinfeksi.

Profesor Eric Fevre dari Universitas Liverpool dan International Livestock Research Institute di Nairobi, Kenya, mengatakan para peneliti perlu terus-menerus mengawasi daerah-daerah di mana ada risiko akan wabah penyakit lebih tinggi.

Petani di pinggir hutan dan pasar tempat di mana hewan diperjual-belikan, adalah wilayah perbatasan antara manusia dan alam liar yang abu-abu, dan itu menjadi tempat di mana penyakit lebih sering muncul.

"Kita harus terus-terusan mengawasi pertemuan ini dan memiliki sistem yang bekerja untuk merespon jika kita melihat sesuatu yang tak biasanya", seperti wabah penyakit yang tiba-tiba muncul di lokasi tertentu.

"Diperkirakan penyakit baru muncul dalam populasi manusia sekitar tiga hingga empat kali tiap tahun," ujar Profesor Fevre.

"Ini tidak hanya di Asia dan Afrika, tapi di Eropa dan Amerika juga."

Matthew Baylis menambahkan pemantauan yang sedang berlangsung untuk penyakit baru ini sangatlah penting.

"Kita telah menciptakan badai yang hampir sempurna di sini untuk munculnya pandemi," katanya kepada BBC News.

Profesor Fevre setuju. "Peristiwa semacam ini kemungkinan akan terjadi berulang-ulang," katanya.

"Ini telah terjadi di seluruh interaksi kita dengan alam liar. Yang penting sekarang adalah bagaimana kita memahaminya dan menanggapinya.

Krisis saat ini, kata Profesor Fevre, memberikan pelajaran bagi banyak dari kita tentang konsekuensi dari keberadaan kita sendiri terhadap alam.

"Semua hal yang kita gunakan dan terima begitu saja - makanan yang kita makan, materi di ponsel pintar kita; semakin banyak kita konsumsi, semakin banyak seseorang akan menghasilkan uang dengan mengekstraksi dan memindahkannya ke seluruh dunia.

"Jadi adalah kewajiban kita semua untuk berpikir tentang sumber daya yang kita konsumsi dan dampaknya." [bbc]
BERIKUTNYA
SEBELUMNYA
Ikuti kami di Google Berita