GELORA.CO -Aljazair selatan, yang kaya akan hasil minyak dan gas, dalam beberapa tahun terakhir sering mengalami pergolakan aksi protes yang berujung kepada kekerasan. Baru-baru ini serentetan protes terjadi di kota Touareg, Tin-Zaouatin, yang menewaskan seorang pria.
Protes yang terjadi di Tin Zaouatin, sebuah kota yang terletak di perbatasan antara Aljazair dan Mali, terjadi setelah pemerintah melakukan pengepungan terhadap penduduk yang menutup akses mereka ke mata air, satu-satunya sumber air mereka.
Seluruh kota melakukan aksi mogok kerja untuk memprotes kematian seorang pemuda yang terbunuh oleh polisi itu. Mereka juga memprotes
Perdana Menteri, menuntut manajemen yang lebih baik.
Setelah demonstrasi berdarah di Tin-Zaouatin, penduduk daerah selatan lainnya, termasuk Bordj Badji Mokhtar, mengecam aturan pembatasan.
Aksi menjadi melebar, penduduk tidak hanya mengecam pembunuhan seorang pengunjuk rasa di kota dekat Tin-Zaouatin oleh tentara, tetapi juga mengecam pengabaian yang telah mereka derita sejak kemerdekaan negara itu. Foto-foto penindasan mereka beredar di media sosial.
Menurut media, ketidakpuasan warga telah muncul di wilayah ini sejak akhir Mei, khususnya karena kelangkaan air, di daerah yang sangat miskin dan gersang itu.
Media independen Aljazair juga dibanjiri dengan keluhan masyarakat provinsi selatan Tamanghasset, area pemukiman di Tin Zaouatin, yang mengecam kurangnya infrastruktur dasar seperti jalan yang tidak beraspal, minimnya perumahan, dan tidak adanya fasilitas vital tertentu seperti pasokan air.
Mereka mengeluhkan diskriminasi oleh otoritas pusat di Kota Aljir, 2700 kilometer jauhnya, terhadap orang-orang di selatan. Aljir adalah ibu kota Aljazair dan kota terbesar dari Aljazair yang terletak di Afrika Utara.
Penduduk setempat melakukan protes karena mereka muak dengan pengepungan yang dilakukan oleh layanan keamanan Aljazair, tidak memperhitungkan persyaratan pembangunan di suatu wilayah yang ditinggalkan selama beberapa dekade oleh rezim di Aljir, dikutip dari North Africa, Selasa (23/6).
Daerah-daerah ini telah hidup selama ribuan tahun berkat dua sumber pendapatan. Pertama, pendapatan dari pertanian ternak transhumant, ternak musiman antara padang rumput musim panas dan musim dingin. Kedua, pendapatan dari perdagangan trans-Sahara, sebuah perdagangan yang menempuh perjalanan melintasi Sahara untuk mencapai Afrika sub-Sahara dari pantai Afrika Utara, Eropa, ke Levant.
Namun, belakangan situasi di Sahara dan Sahel sangat tidak aman selain perjalanan yang berbahaya di tengah padang gersang juga adanya para teroris yang berkeliaran di wilayah tersebut.
Pemberontakan di Tin-Zaouatin lebih banyak terjadi karena tertutupnya akses mereka ke mata air, satu-satunya sungai di daerah itu untuk mereka mendapatkan kebutuhan air minum dan masak.
Selain provinsi Tamanrasset, kota-kota lain yang bergolak adalah Ouargla dan Laghouat. Keduanya juga diguncang oleh bentrokan keras antara pasukan keamanan dan pengunjuk rasa.
Para pengunjuk rasa menuduh pemerintah merampok kekayaan gas negeri itu dan berinvestasi di utara, sementara penduduknya dibiarkan miskin dan terbelakang.
Kota Ghardaia, juga berada di selatan, telah diguncang oleh bentrokan karena warisan rezim diskriminasi terhadap penduduk setempat, Amazigh.
Aljazair Selatan merupakan tempat yang aman bagi kriminalitas lintas batas, terorisme, dan penyelundup manusia.(rmol)