Oleh Dr. Syahganda Nainggolan,
Eddy Mulyadi, koordinator aksi anti RUU HIP, dalam video penjelasan tentang aksi di depan DPR-RI beberapa hari lalu, setelah aksi Rabu, 24 Juni 2020, mengatakan 1) aksi pembakaran bendera merupakan "accident" bukan "incident". 2) aksi penolakan RUU HIP merupakan aksi bertanggung jawab dan bersifat fundamental karena menolak bangkitnya faham komunisme di Indonesia. 3) mengingatkan seruan siaga satu bagi seluruh umat Islam di Indonesia untuk mengantisipasi bentrok massal dan menyeluruh di Indonesia sebagai bagian aksi reaksi dari kelompok yang kontra aksi anti RUU HIP.
Sebuah aksi massa dan bertanggung jawab serta mempunyai leadership berskala nasional adalah fenomenal dalam masa covid-19 ini. Sebab, selain memperlihatkan perlawanan atas kehendak penguasa yang ingin meloloskan UU "pengkerdilan" Pancasila, aksi ini juga sebagai bentuk ketidaktaatan massa rakyat atas beban risiko pandemi coronavirus.
Tercatat sejauh ini aksi penolakan RUU HIP dan bangkitnya Komunisme terjadi di berbagai daerah. Sedangkan sebelumnya, aksi aksi pernyataan sikap para ulama atas hal yang sama menyebar hampir di seluruh Indonesia.
Aksi Revolusioner
Menghilangkan rasa takut dengan aksi ke publik di masa pandemik di dunia di mulai di Hongkong dan Amerika. Di Hongkong karena mereka tidak ingin "dijajah" RRC Komunis. Sedangkan di Amerika, kasus George Floyd, yang meninggal akibat disiksa polisi di Minneapolis, membakar semangat kaum kulit hitam di Amerika dan seluruh dunia menolak dominasi kulit putih. Baik di Hongkong maupun di Amerika, persoalan keangkuhan kekuasaan menjadi pemicu gerakan "anti the establishment".
Bagaimana di Indonesia? Aksi pertama kali melawan rezim berkuasa bahkan ketika adanya maklumat Kapolri untuk tidak mengadakan aksi atau demonstrasi telah terjadi Rabu, 24 Juni lalu. Aksi ini terjadi sebagai penolakan umat Islam atas rencana partai penguasa melegalkan sebuah UU Haluan Ideologi Pancasila dan adanya dominasi Badan BPIP dalam mengarahkan ideologi negara, pada saat DPR terlihat saat ini gampang dikendalikan rezim.
Seharusnya, hal hal krusial seperti ideologi, harus dibahas di masa normal, bukan di saat orang ketakutan akibat situasi pandemik coronavirus. Rakyat menganggap, struktur elit telah memanipulasi situasi kesedihan dan penderitaan bangsa saat pandemik ini untuk membuat berbagai produk
Undang-Undang, yang tidak memihak rakyat. Seperti sebelumnya juga UU atas Perpu Corona, UU Minerba dan RUU Omnibus Law.
Jika ideologi negara yang diindikasikan "versi Komunis" tersebut berhasil menjadi UU, maka dikhawatirkan Indonesia akan dikooptasi segelintir elit, bukan untuk kepentingan rakyat, tapi hanya untuk kepentingan oligarki modal dan segelintir elit tersebut tadi.
Perasaan rakyat yang marah terhadap kekuasaan tidak dapat ditahan lagi. Aksi massa 24 Juni lalu telah menghilangkan rasa takut atas pandemik coronavirus, sebuah rasa takut yang maha dahsyat dibandingkan ketakutan atas sebuah kekuasaan. Dengan demikian, secara teoritik, aksi tersebut benar-benar revolusioner, baik dari kacamata "social movement theory" maupun "new social movement theory". Bukan sebuah tindakan reformasi melainkan revolusioner.
Arah Pertarungan Ke Depan
Ketika Eddy Mulyadi menyatakan pembakaran bendera PKI dan PDIP adalah "accident" bukan "incident", tersirat bahwa aksi tersebut secara umum adalah pertarungan besar yang bersifat ideologi. Bahwa secara aksidental ada pembakaran bendera PKI dan PDIP, meski bukan direncanakan organisasi aksi, namun menurut Eddy tidak merubah tujuan aksi, yakni perang ideologi. Bahkan, karena sebab pembakaran bendera itu akan terjadi perang saudara di Indonesia, sebagai bagian aksi reaksi, Eddy menyatakan sudah siap.
Arah Pertarungan Ke Depan
Secara ideologi, Islamisme yang dikendalikan kepemimpinan ulama, khususnya Habib Rizieq Shihab, sangat matang dan dalam, baik dari tingkat gagasan maupun aksi. Di tingkat gagasan ideologi Islam yang ditawarkan adalah keadilan sosial yang hilang selama ini. Habib Rizieq, seperti juga HOS Tjokroaminoto dan Soekarno di jaman penjajahan, menunjukkan gagasan dan gerakan anti tesis atas kapitalisme dan dominasi kaum kapitalis. Simbol perjuangan 212 yang dikomandoi ulama selama ini menunjukkan permusuhan atas dominasi sepihak pemilik modal alias 9 NAGA. Bahkan, para ulama bertekad mengembalikan tanah yang dikuasai cukong puluhan juta hektar kepada semua rakyat miskin.
Di sisi lainnya, ideologi non Islam, yang di masa penjajahan Belanda, seperti Komunisme dan Marhaenisme, saat ini tidak menunjukkan konsistensi sejarah mereka berjuang untuk keadilan sosial. Partai Rakyat Demokratik (PRD), misalnya, sekali lagi haya umpama, meski tetap menunjukkan perlawanan terhadap kapitalisme dan pemilik modal, tidak mampu menjelaskan posisinya di mata rakyat, apakah dia sebagai oposisi atau bagian kekuasaan. Padahal, kekuasaan yang eksis saat ini adalah kekuasaan kapitalistik (lihat pernyataan bagian rezim kuasa Surya Paloh: Indonesia Kini Adalah Negara Kapitalis Liberal, Agustus 2019).
Kekuasaan saat ini meskipun mengagungkan kelanjutan sejarah Soekarnoisme atau Marhaenisme, tidak menunjukkan jejak anti kolonialisme dan anti kapitalisme itu.
Sehingga terjadi paradoks antara gagasan dengan praxisnya. Bagaimana ingin membangun kekuatan dan keadilan untuk rakyat kalau kekuasaan dan rezimnya menyusun agenda bangsa ini dengan kolaborasi pemilik modal?
Belum lagi sebuah paradoks kiri internasional, di mana kerjasama dengan RRC bukannya membangun keadilan sosial, malah terkesan memberikan dominasi RRC semakin dalam di Indonesia.
Paradoks dari the ideology of the ruling class adalah fatal. Alhasil Islam sebagai ajaran keadilan tidak tertandingi ideologi non Islam.
Dan sepanjang ideologi Islam menjadi tafsir bagi Pancasila dan cita-cita mulianya untuk keadilan, maka peranan Islam cepat atau lambat tidak mungkin dibendung lagi.
Situasi pandemik sendiri akan mempercepat dominasi Islam di Indonesia. Anatomi kekuasaan saat ini, yang didukung oligarki dan kelompok pragmatis, sulit bertahan lama karena dampak ekonomi pandemik coronavirus telah menghancurkan ekonomi negara. Kemiskinan dan pengangguran ke depan akan memunculkan "social unrest" yang tidak mungkin dikendalikan sebuah kekuasaan yang tidak dekat dengan rakyat.
Persoalannya apakah Islam akan menjadi tafsir tunggal atas Pancasila ke depan akan menjadi pertanyaan besar. Pada tahun 2016, saya menyarankan Rachmawati Soekarnoputri menjalin hubungan akrab dan sinergis dengan kekuatan ulama (Habib Rizieq Shihab) agar tafsir Pancasila tetap dimiliki bersama. Artinya Pancasila bisa sebagai Philosophische Grondslag bukan ideologi. Namun, semua ini tergantung bagaimana arah sejarah ini dikendalikan. Jika mengikuti sejarah Iran, di mana kelompok nasionalis di sana merasa angkuh terhadap kelompok Islam, maka kaum Islam Syiah menentukan sendiri kemenangannya.
Pertarungan ideologi Islam vs. Anti Islam sudah manifest saat ini. Aksi Revolusioner umat Islam telah terjadi Rabu, 24 Juni lalu. Mereka bukan saja menghilangkan rasa takut atas kekuasaan sebuah rezim, namun mereka telah melawan ketakutan atas coronavirus. Hal ini persis terjadi seperti di Hongkong, ketika rakyatnya melawan RRC dan persis seperti di Amerika, gerakan "Black Lives Matter".
Reaksi terhadap aksi ini jelas juga. Kekuatan anti Islam dan kelompok nasionalis bahkan terindikasi Komunis, juga telah turun ke jalan. Selama ini memang keterbelahan bangsa (devided society) sudah terjadi. Namun, perang saudara hanya pernah terjadi tahun 65/66 antara Islam melawan Komunis.
Ideologi Islam pada saat ini menguasai akar rumput alias rakyat (kecuali di Jateng) karena gerakan mereka menjanjikan bangsa yang makmur dan adil, bukan sekedar makmur buat segelintir orang. Permusuhan yang diperlihatkan Habib Rizieq dan para ulama atas dominasi ekonomi segelintir taipan dan 9 naga di atas penderitaan seratusan juta rakyat miskin, menunjukkan sisi perjuangan mereka. Sebaliknya, rezim kekuasaan, yang mempertahankan kapitalisme dan persekongkolan dengan oligarki modal telah memporak-porandakan klaim sejarah Marhaenisme dan bahkan Komunisme, yang di masa lalu adalah di garda depan melawan kapitalis dan ketidak adilan. Sehingga, saat ini, rezim kekuasaan kesulitan meyakinkan rakyat atas klaim keberpihakannya.
Pertarungan ini semakin mengerikan di saat negara dipastikan tidak mampu menopang perekonomian nasional lagi. Masa pandemi yang panjang serta pertolongan ekonomi RRC dan lainnya tidak mungkin datang, membuat kekuasaan yang berbasis kooptasi negara akan gagal melakukan upaya konsolidasi eksistensinya.
Dengan demikian, nasib bangsa ini ke depan sangat tergantung bagaimana kelompok sosial di masyarakat mencari jalan tengah atau membiarkan arah revolusioner membimbing nasib bangsa. (*)