Oleh: Dahlan Iskan
Kalau hasilnya negatif, lima kabupaten di sana akan dibebaskan dari PSBB. Berarti sekolah boleh dibuka lagi. Toko dan perdagangan boleh jalan lagi.Dan di bulan Ramadhan ini Shalat Tarawih dan Jumatan bisa dilaksanakan berjamaah di masjid lagi.
Sumbar memang nomor satu di Sumatera, terbanyak terkena Covid-19. Terbanyak itu sebenarnya tidak banyak: 196. Tapi itu bisa jadi ancaman wabah yang serius.
Hanya saja dari 196 itu tidak ada yang dari lima kabupaten tadi: Solok Selatan, Lima Puluh Kota, Sijunjung, Sawahlunto, dan Kota Solok.
Tapi, selama ini, rakyat di lima kabupaten itu ikut terkena PSBB. Itulah memang jahatnya Covid-19: mayoritas yang negatif ikut bernasib sama dengan yang minoritas positif, hanya beda pengobatan.
Covid-19 adalah tirani minoritas atas mayoritas. Yang membuat minoritas yang vokal mengalahkan mayoritas yang diam.
Termasuk di Sumbar. Yang lagi ”berontak” atas wabah ini. Sampai berani melakukan pool test.
Di Sumbar memang ada dokter yang sangat dipercaya gubernurnya. Namanya: Andani Eka Putra. Ia adalah Kepala Laboratorium Pusat Diagnostik dan Riset Penyakit Infeksi Universitas Andalas, Padang.
Dokter Andani-lah yang mengusulkan ide itu ke Gubernur Sumbar Prof Dr. Irwan Prayitno. Untuk melakukan pool test di 7 kabupaten itu.
”Saat itu Pak Gubernur langsung menyetujui. Kami pun melaksanakan,” ujar Andani saat saya hubungi tadi malam.
Andani adalah satu pembicara dalam Zoom webinar Sabtu siang lalu. Yang diselenggarakan Komunitas Kawal Covid Sumut dan Ikatan Alumnus ITB Sumut.
Pembicara di webinar itu tiga dokter ahli dari Universitas Sumatera Utara (Dr.dr. M. Ichwan MSc, Dr. dr. Inke Nadia Lubis dan Dr. dr. Istri Isniyati Fujiati) dan Hafidz Ary Nurhadi dari ITB, pengusul pool test itu.
Pool test yang dilakukan di Sumbar ini prinsipnya sama dengan ide yang disampaikan insinyur ITB Hafidz (Baca DI’s Way: Pool-test Hafidz).
Hanya saja dr Andani melakukan dengan teori dan penemuannya sendiri. Yakni hanya mau melakukan pool test di wilayah yang belum ditemukan penderita Covid-19.
Itu pun tidak semua penduduk dites. Hanya penduduk yang potensial tertular di lima kabupaten itu yang dites.
Mereka adalah orang-orang yang punya penyakit tertentu di lima kabupaten itu. Misalnya yang menderita diabetes, darah tinggi, asma, dan seterusnya. Itu pun tidak semua. Yang benar-benar sangat potensial tertular saja.
Dengan demikian jumlah orang yang dites tidak terlalu banyak. Yang kalau terlalu banyak biayanya sangat besar.
Yang menarik adalah ide Andani berikut ini. Yakni cara membuat pool itu.
Satu pool terdiri dari 60 sampai 100 orang. Tergantung Kabupatennya. Mukus (cairan dari pangkal hidung/dekat tenggorokan) mereka dimasukkan tabung masing-masing. Yang di dalamnya sudah ada cairan kimianya. Sebut saja tabung ini sebagai tabung kelompok (Tabung K).
60 atau 100 tabung kolompok itu dibagi menjadi beberapa kelompok lebih kecil. Sebut saja menjadi sub kelompok.
Tiap sub kelompok terdiri dari lima tabung. Sebut saja tabung Sub Kelompok (Tabung SK).
Cairan yang sudah tercampur mukus di 5 tabung SK tadi dikurangi dulu masing-masing sebanyak 20uml. Untuk dijadikan satu, dimasukkan ke dalam satu tabung. Sebut saja tabung subnya sub-kelompok (Tabung SSK). Berarti di satu tabung SSK ini berisi 100 uml mukus dari lima tabung SK.
Yang dites di laboratorium adalah mukus yang di satu tabung SSK tadi.
Kalau satu tabung ini hasilnya negatif, maka 5 tabung SK dan 64 tabung K tidak perlu lagi dites. Berarti 60 atau 100 orang yang ikut pool test tersebut negatif semua.
Murah sekali. Dan lebih akurat. Beda dengan yang diusulkan Hafidz, satu pool mukus dimasukkan dalam satu tabung penguji.
Tujuh kabupaten di Sumbar sudah menjalani itu. Yang hasilnya akan diketahui siang ini.
”Besok siang saya sudah bisa lapor bapak gubernur hasilnya bagaimana,” ujar dr Andani.
Bagaimana kalau hasil pemeriksaan tabung SSK nanti positif?
Barulah dilakukan pemeriksaan terhadap tabung SK. Untuk mengetahui yang positif tadi dari sub kelompok yang mana.
Kalau sudah diketahui sub kelompok yang mana barulah tiap tabung di sub kelompok itu dites. Dari sini akan diketahui siapa yang positif tersebut. Untuk dilakukan isolasi.
Alenia berikut ini adalah bagian yang sensitif. Yang belum tentu banyak orang yang memahami.
Yakni apa yang sebenarnya harus dilakukan saat terjadi pandemi. Doktrin dalam pandemi, kata Andani, adalah memfokuskan semua usaha untuk memutus rantai penyebaran.
”Perang lawan pandemi itu di lapangan. Bukan di rumah sakit,” ujar dokter Andani.
Itu perlu ditegaskan agar jangan sampai upaya terbesar adalah menangani yang sudah terkena Covid-19.
Protokol Covid-19 haruslah physical distancing, pakai masker, dan cuci tangan itu. Termasuk di dalamnya memisahkan penduduk yang sehat dari yang terkena wabah.
Menurut Andani, kalau saja hasil pool test tersebut negatif, maka orang dari luar lima kabupaten tersebut tidak boleh masuk ke dalamnya. Yang di dalam lima kabupaten tidak boleh keluar. Mereka boleh hidup normal sebatas di dalam lima kabupaten itu, termasuk boleh sekolah dan tarawih.
Andani adalah dokter ahli penyakit tropis. Ia lulus sebagai dokter di Universitas Andalas. Lalu mengabdi di rumah sakit di Padang. Setelah itu Andani ke Universitas Gajah Mada Jogjakarta untuk mendapatkan spesialisasinya.
Kini Andani menjadi Kepala Laboratorium Pusat Diagnostik dan Riset Penyakit Infeksi Universitas Andalas, Padang. Praktik dokternya sangat laris. Andani bisa praktik sampai pukul 2 malam. Andani sangat disukai orang yang lagi sakit di sana, karena boleh tidak membayar.
Jiwa aktivisnya tidak larut dalam komersialisme. Sebagai aktivis mahasiswa dan tokoh HMI, Andani ingin terus berjuang lewat profesi dokternya.
Ia ingin sekali menghasilkan produk kesehatan untuk Indonesia. Ia belum mau banyak bercerita. Tapi sebenarnya Andani lagi melakukan riset untuk menemukan cara mendeteksi virus yang menyebabkan kanker mulut rahim. Ia juga sedang riset untuk membuat cairan yang akan dipakai melakukan tes di lab. Misalnya tes Covid-19 seperti sekarang ini.
Tahun lalu Andani akan dinobatkan sebagai dosen teladan di Universitas Andalas. Andani menolak. ”Saya harus menghasilkan penemuan dulu,” katanya.
Sewaktu wahasiswa, Andani juga aktif di dunia pers kampus. Karena itu cita-cita awalnya jadi wartawan. Lalu ganti cita-cita ingin ke ITB. Ayahnyalah, seorang polisi yang memintanya jadi dokter.
Ia tidak ingin jadi dokter biasa.
Untuk menjadi penemu di bidang kedokteran itulah Andani melengkapi lab universitas dengan alat-alat terbaru. Sering ia harus membeli alat sendiri, dari uang pribadinya. Termasuk alat yang harganya di atas Rp 100 juta.
Kalau saja ia punya uang banyak bidang keilmuan kedokteran di Sumbar akan sangat maju.
Dengan pool test tersebut, Sumbar lagi melakukan terobosan penanganan Covid-19.
Di Sumbar mereka yang mayoritas tidak ingin dikalahkan oleh minoritas tadi.