GELORA.CO - Pemerintah melalui Kementerian Keuangan akhirnya telah membatalkan penerbitan surat berharga negara (SBN) dalam rangka menangani pandemik Covid-19 melalui seri khusus Pandemic Bonds.
Langkah ini diambil setelah berulang kali ekonom senior DR. Rizal Ramli melancarkan kritik sejak akhir Maret lalu.
Menko Perekonomian era Presiden Abdurrahman Wahid itu tegas menolak rencana pencarian sumber dana stimulus dampak Covid-19 yang dianggarkan mencapai Rp 405, 1 triliun tersebut dari penerbitan recovery bond atau surat utang yang diterbitkan pemerintah.
Penerbitan recovery bond, menurut Rizal Ramli, hanya bungkus dari kebijakan menambah utang atau mencetak uang.
Hal ini diindikasikan dengan langkah Presiden Jokowi, meneken Perppu pelebaran defisit APBN lebih dari 3 persen. Jika tidak ada transparansi, Rizal Ramli memprediksi pandemic bond ini akan lebih berbahaya dari kasus BLBI.
"Tanpa governance dan transparansi yang benar, recovery bond kemungkinan hanya akan jadi skandal keuangan berikutnya," tegasnya pada Selasa (31/3) lalu.
Mantan Menko Kemaritiman ini mengurai, penambahan utang atau penerbitan uang rupiah baru, jika dilakukan akan membuat nilai rupiah semakin jatuh.
Sebagai solusi, dia menyarankan Jokowi untuk bisa melakukan realokasi anggaran secara radikal.
“Hentikan sementara semua proyek-proyek infrastruktur. Termasuk proyek pembangunan ibu kota baru," katanya.
Kini, Rizal Ramli kembali melancarkan kritik pada usulan cetak uang Rp 600 triliun untuk stabilisasi ekonomi Indonesia di tengah masa pandemik virus corona. Dia mendukung Gubernur BI Perry Wajiyo yang menolak usulan dari Badan Anggaran DPR tersebut.
Menurutnya, banyak ekonom- ekonomi neoliberal dan pejabat-pejabat yang senang meniru asing tapi tidak paham konteks apa yang ditiru.
“Sok-sokan nyontek USA pake “Quantitive Easing” (QE). Konteksnya tidak paham, Amerika bisa nyetak dolar terus. Jepang & Eropa punya cadangan besar, bisa tambah money supply. Ekonom-ekonomi itu menipu rakyat!” kesalnya dalam akun Twitter pribadinya sesaat lalu, Jumat (8/5).
Menurutnya, cetak uang dalam jumlah besar akan membuat indonesia mengalami inflasi seperti tahun 1995 sebesar 1.000 persen dan tahun 1978 sebesar 68 persen.
“Harga-harga naik, rakyat jadi korban. Dan rupiah akan rontok ke Rp 20.000-an per dolar AS! Itulah akibat ekonom-ekonom “Nyontek tapi ndak ngerti konteks”,” tutupnya. (*)