GELORA.CO - Seiring rencana kebijakan normal baru atau The New Normal seperti diatur Keputusan Menteri Kesehatan Nomor HK.01.07/MENKES/328/2020 tentang Panduan Pencegahan dan Pengendalian Covid-19 di Tempat Kerja Perkantoran dan Industri, diharapkan negara tidak mengarah pada upaya menerapkan herd immunity terhadap warganya.
Herd Immunty bisa didefinisikan sebagai menyerahkan rakyat pada seleksi alam; yang kuat bertahan kemudian imun, yang lemah meninggal dengan sendirinya.
Herd Immunity ini mengacu pada situasi dimana cukup banyak orang dalam satu populasi yang memiliki kekebalan terhadap infeksi sehingga dapat secara efektif menghentikan penyebaran penyakit tersebut.
Anggota Komisi III DPR RI Fraksi PKS, Nasir Djamil mengatakan ada plus minus jika herd immunity dilakukan sebuah negara. Pertama, dengan memeberikan vaksin, meskipun belum ada vaksin Covid-19 hingga kini. Kemudian, dengan membiarkan lebih kurang 70 persen populasi terinfeksi virus sehingga akan mendapatkan kekebalan antibodi secara alami.
Meskipun, Organisasi Kesehatan Dunia (WHO) telah melarang negara-negara di dunia untuk melakukan herd Immunity, namun setiap negara menghadapi dilema, manakala kebijakan soal Pembatasan Sosial Berskala Besar (PSBB) tidak menunjukkan hasil yang signifikan.
Jika pilihan herd immunity dilakukan dengan cara menginfeksi penduduk secara langsung, maka akan ada dua kemungkinan yang akan terjadi.
"Pertama, bertahan hidup (kebal terhadap penyakit). Kedua, meninggal bagi yang tidak kuat," ujar Nasir Djamil saat berbincang dengan Kantor Berita Politik RMOL sesaat lalu, Selasa (26/5).
Namun begitu, politisi PKS ini khawatir jika secara tidak langsung Indonesia akan menerapkan herd immunity, meskipun tidak diumumkan secara ekplisit.
Itu sebabnya, lanjut Nasir, kenapa Presiden Jokowi pernah mewacanakan menerapkan darurat sipil untuk menekan laju penularan Covid-19.
"Mudah-mudahan dugaan saya salah soal Indonesia akan menerapkan herd immunity. Sebab jika ini diterapkan tentu akan berdampak serius terhadap situasi Indonesia. Bisa jadi juga akan ada banyak kritik dari publik, termasuk pengamat dan kalangan anggota DPR," kata Nasir.
Begitu, Nasir Djamil menilai ada situasi yang berbeda antara Indonesia dengan negara lainnya yang mengalami pandemi Covid-19. Di negeri ini, tingkat disiplin dan tanggungjawab warga negara belum seperti yang diharapkan.
"Kita dihadapkan dengan pertanyaan yang rumit, apakah warga yang tidak disiplin atau wibawa negara yang mulai meredup," ujarnya.
Nasir menyatakan bahwa dirinya mewanti-wanti ketika kebijakan "new normal" akan diberlakukan. Hal itu terlihat dari upaya untuk membuka kembali pertokoan, pusat perbelanjaan modern, dan moda transportasi umum walau dengan protokol kesehatan yang ketat.
Kemudian, sekolah hingga perkantoran pun akan dibuka yang secara otomatis aktifitas massal mulai terjadi.
"Pemulihan ekonomi nasional tentu akan berjalan sangat lambat jika kondisi Indonesia masih seperti ini. Karena itu pemerintah wajib diingatkan bahwa new normal tidak boleh mengabaikan tugas asasi negara yakni melindungi jiwa dan raga rakyatnya," ujarnya.
Lebih lanjut, legislator asal Aceh ini hanya mengingatkan pemerintah agar juga memperhatikan tingkat kedisiplinan masyarakat Indonesia yang masih terbilang rendah, meskipun karena sejumlah alasan mendasar mengharuskan masyarakat tetap beraktivitas di luar rumah.
Tetapi, jika kebijakan The New Normal ini dilakukan, yang wajib dipikirkan dan dilakukan adalah mengurangi resiko bencana kesehatan dan malapetaka ekonomi di dalam negeri.
Pertanyaannya, siapa yang bertanggungjawab penuh jika panduan seperti yang diatur dalam Permenkes tidak diterapkan? apakah ada sanksi atau tidak? Atau jangan-jangan keputusan Menkes ini adalah upaya tidak langsung Indonesia menuju herd immunity? Kalau dugaan saya ini benar tentu presiden Jokowi wajib mengevaluasi keputusan pembantunya dan menjelaskan kepada publik dan DPR secara gamblang," pungkasnya.(rmol)