Sidang Rakyat Berlanjut: Oknum TNI Diduga Beking Pengusaha Eksploitasi Perut Bumi

Sidang Rakyat Berlanjut: Oknum TNI Diduga Beking Pengusaha Eksploitasi Perut Bumi

Gelora News
facebook twitter whatsapp

GELORA.CO – Anggota Forum Warga Terdampak Bangkit Sukabumi, Uus Kusnadi, mengatakan selama ini masyarakat dirugikan atas kerusakan lahan akibat aktivitas tambang. Lahan bercocok tanam terganggu dan hewan ternak mati karena sumber air bersih tercemar.

Padahal, kata dia, sumber air bersih tersebut biasa digunakan untuk mengairi sawah dan minum hewan ternak. “Dulu kami bisa mengairi sawah dua hingga tiga kali setahun, sekarang sekali saja susah,” kata Uus dalam Sidang Rakyat penolakan UU Minerba, hari ini (31/5).

“Wilayah penambangan dan pemukiman warga jaraknya hanya ratusan meter. Belum lagi, dentuman bahan peledak yang digunakan untuk menambang karst telah membuat beberapa rumah warga retak,” ujarnya.

Situasi seperti itu terjadi di wilayah tambang pasir besi Urut Sewu, Jawa Tengah. PT Mitra Niagatama Cemerlang yang beroperasi di kawasan tersebut ditengarai mendapat beking dari oknum TNI Angkatan Darat (AD) untuk tetap melanjutkan penambangan. Padahal eksploitasi perut bumi yang dilakukan perusahaan tersebut telah berhasil dihentikan warga pada 2012.

“Rakyat selalu menjadi pihak yang dirugikan, padahal merekalah yang mengalami dampak buruk akibat kesewenang-wenangan korporasi tambang ini,” ucapnya.

Forum Warga Peduli Lingkungan Bogor pernah mengajukan gugatan atas surat izin penambangan yang dikeluarkan Bupati Bogor. Warga memenangkan kasus ini dalam sidang kasasi di Mahkamah Agung (MA) tahun 2017. Namun, putusan MA ternyata tidak diindahkan pemerintah dan pejabat daerah setempat, karena tidak lama berselang, izin baru pun terbit.

Uus menjelaskan, ketika warga meminta penjelasan pada Dinas Penanaman Modal Satu Pintu Bogor, mereka beralasan tidak tahu menahu bahwa gugatan tersebut dimenangkan warga.  Perum Perhutani yang memiliki kewenangan atas pengelolaan hutan yang merupakan lokasi penambangan tidak menggubris gerakan warga.

Kolusi terstruktur yang terlihat jelas tersebut membuat warga sulit memperoleh hak-hak mereka, yang berakhir dengan kerugian ekonomi, sosial, dan bahkan kesehatan. Atas dasar itu, masyarakat pulau Jawa sepakat menolak pelaksanaan Undang-Undang Pengelolaan Mineral dan Batu Bara (UU Minerba) karena hanya menguntungkan oligarki batubara.

Dengan adanya regulasi itu, dampak kerusakan lingkungan dan kegiatan ekonomi warga sekitar pertambangan dinilai bertambah buruk. Kondisi Pulau Jawa mengalami kelebihan suplai listrik sekitar 40 persen. Dengan demikian, pembangunan PLTU baru yang mendapat karpet merah dari UU Minerba tahun 2020 tidak diperlukan lagi.

Dua megaproyek PLTU yang akan dan sedang dibangun di Pulau Jawa adalah PLTU Indramayu 2 di Jawa Barat dan PLTU Batang, Jawa Tengah. Keduanya memiliki total kapasitas  sebesar 2×1.000 MW. Nilai investasi tiap proyek tersebut mencapai US$4 miliar.

Anggota Jaringan Tanpa Asap Indramayu (JATAYU), Domo, menolak pembangunan PLTU 2 yang akan dibangun bersebelahan dengan PLTU Indramayu 1 yang berkapasitas 3×330 MW. Dia khawatir polusi dan pencemaran yang ditimbulkan akibat PLTU Indramayu 1 akan bertambah parah.

“Terlebih, UU Minerba 2020 berpotensi kian memuluskan pembangunan PLTU Indramayu 2 yang sempat tertunda pada 2018,” kata Domo dalam acara yang sama.

Menurut Domo, tindakan pengusaha tambang yang tidak bertanggung jawab atas dampak eksploitasi hasil perut bumi menjadi salah satu alasan kuat warga menolak UU Minerba. Pada Pasal 1 ayat 28a UU Minerba disebutkan, wilayah hukum pertambangan adalah ruang darat, ruang laut, termasuk ruang dalam bumi sebagai kesatuan wilayah yakni Kepulauan Indonesia, tanah, perairan, dan landas kontinen.

“Artinya, kewenangan diberikan seluas-luasnya bagi pengusaha atas semua komoditas tambang yang terkandung di kawasan pegunungan hingga pesisir. Hal ini membuat warga di kawasan penambangan karst Gunung Guha, Sukabumi, Jawa Barat, ketar-ketir,” ucapnya. (*)
BERIKUTNYA
SEBELUMNYA
Ikuti kami di Google Berita