Oleh:Rachland Nashidik
DENNY Siregar adalah pendukung fanatik Jokowi. Modal di kepalanya sebenarnya tidak banyak. Pengetahuan kurang. Logika lemah. Kritisisme apa lagi: minus.
Toh dia memiliki tempat terhormat di antara buzzer Istana. Dianggap lebih pintar dari rata-rata mereka. Jadilah Denny Siregar ini buzzer Jokowi papan atas.
Orang pintar hanya bisa membela dalam batas kepantasan. Orang bodoh bahkan tak tahu batas itu ada. Birds of a feather flock together. Orang bodoh membela orang bodoh. Mungkin karena menjadi pintar berarti tak mungkin menjadi fanatik.
Tulisan-tulisan Denny bicara dua hal saja: membenarkan Jokowi atau memperolok orang yang berpendirian berbeda. Tidak ada analisa yang serius atau apalagi jujur. Isinya cuma propaganda. Tapi dalam dunia buzzer, hal begitu biasa saja.
Yang tidak biasa: dia menjadikan anak kecil sebagai bahan untuk menyerang orang-tua si anak sendiri.
Biasanya, Denny cuma murahan. Kali ini, dia keterlaluan.
Almira Yudhoyono, 12 tahun, adalah anak kelas 6 Sekolah Dasar. Dia putri semata wayang pasangan Agus Yudhoyono dan Anisa Pohan. Sampai di sini Anda mengerti kenapa Denny merendahkan anak kecil itu?
Ya, Denny dikenal membenci keluarga Yudhoyono! Tapi sebagai buzzer Jokowi, apalagi tokohnya di papan atas, kebencian itu lumrah saja.
SBY adalah figur Presiden pembanding terdekat untuk mengukur keberhasilan atau kegagalan Jokowi. Maka SBY dan keluarganya tiap hari harus "dibunuh" agar Jokowi selalu cukup jelas kelihatan. Itu mereka lakukan sejak hari pertama di istana.
Menjadi antitesa SBY tadinya mungkin strategi. Tapi lama-lama berubah menjadi obsesi. Dan mereka terjebak di situ. Ternyata menjadi Presiden butuh lebih dari memberi janji atau berfoto solo.
Kembali ke serangan Denny. Yang tidak lumrah: Almira diserang karena dia tumbuh menjadi anak yang berpikiran kritis dan tidak takut menyatakannya.
Dia dididik di sekolahnya dalam praktek kebebasan akademis.
Almira dicurigai karena dia pandai menulis dan dalam bahasa Inggris.
Almira disalahkan karena ia tumbuh menjadi anak berprestasi.
Denny Siregar menganggap, pada Almira semua itu adalah serangan politik pada Jokowi: kebebasan akademis, pikiran kritis, kemampuan menulis dan bahasa Inggris. Entah, mungkin karena pada Jokowi satupun itu tak ada.
Tapi kalau begitu, Denny seharusnya bukan cuma menyerang keluarga Yudhoyono. Seorang anak tak punya kebebasan dilahirkan sebagai anak siapa.
Denny juga seharusnya menyerang sekolah Almira. Sebab Almira menulis opini itu, dalam bahasa Inggris yang bagus, untuk memenuhi tugas dari sekolahnya. Opini itu wajib dikemas ke dalam naskah pidato untuk dibacakan di hadapan Presiden. Almira memilih masalah lockdown sebagai tema.
Tentu, Almira tidak sungguh-sungguh akan berpidato di hadapan Presiden. Itu cuma seolah-olah. Hanya berlatih berimajinasi. Hanya cara mendidik anak berani berpendapat.
Sekolah Almira mungkin terinspirasi oleh aktivitas Unicef. Denny Siregar pasti tak tahu bahwa badan PBB itu bersuara lantang di masa Pandemi Covid-19 ini. Mendesak agar setiap pemerintahan di dunia mendengar dan memperhitungkan suara anak-anak ke dalam kebijakan mitigasi pandemi.
Di Inggris, Unicef mendorong anak-anak menulis kepada pemerintahnya. Tentang apa pendapat dan harapan mereka dalam hidup yang sulit akibat pandemi.
Denny Siregar tak tahu itu. Mungkin karena Unicef tak punya program yang sama untuk anak-anak di Indonesia. Mungkin Unicef tahu, mustahil melakukannya di Indonesia, tanpa membuat anak-anak dipandang menyerang pemerintah. Dan menjadi korban perundungan oleh buzzer pendukung fanatik Jokowi, seperti yang dilakukan Denny Siregar pada Almira Yudhoyono.
Denny Siregar adalah lelaki dewasa dengan pikiran yang terbelakang dan sewenang-wenang. Bila ia juga seorang Ayah, sungguh malang anak-anaknya. Tapi, siapa tahu, mungkin ia sendiri dibesarkan oleh orang tua yang berpikiran sama.
Denny tidak percaya bahwa seorang anak, apalagi baru belasan tahun, mampu mengembangkan dan memiliki pikiran dan pendapat sendiri. Apalagi pikiran dan pendapat yang kritis. Denny kaget dan tak bisa menerima.
Mungkin baginya, seorang anak, daripada terlibat dalam pemikiran kritis, seharusnya cukup membaca komik-komik Sinchan. (Tapi kalau begitu, dalam sebuah ironi, semoga Denny juga berani bilang pada Jokowi, bahwa bacaan Presiden tak pantas cuma komik anak-anak).
Entah apakah dia tahu Greta Thurnberg. Aktivis Swedia yang bulan Januari tahun ini baru merayakan ulang tahunnya yang ke 17. Inilah Remaja perempuan yang ditulis majalah Time sebagai tokoh berpengaruh di dunia. Pada usia 15 tahun, ia memimpin pemogokan siswa, menuntut orang-orang tua dan pemimpin dunia bersungguh-sungguh menyetop kerusakan iklim. Lalu dalam forum PBB ia sampaikan pendapatnya, dengan kritis dan berani, pada Presiden dan Perdana Menteri.
Mungkin sadar telah memamerkan kesalahan, Denny lalu berusaha berkelit. Dia bilang tidak merundung Almira melainkan keluarganya dan Partai Demokrat. Tapi tak perlu seorang jenius guna melihat dengan jelas bahwa ia mencurigai kecerdasan Almira, menilai pikirannya sebagai serangan politik pada kebijakan Jokowi, bahkan menudingnya sebagai alat politik orang tuanya belaka.
Denny Siregar menggunakan Almira sebagai alat untuk menyerang SBY dan orang tua Almira sendiri.
Lucunya, dia membayangkan dirinya adalah David yang melawan Goliath: dia melawan Partai Demokrat.
Ia memilih menggiring publik pada persepsi palsu itu. Sebab dia tak mampu membayangkan dirinya merunduk, merendahkan diri, memohon maaf pada seorang anak bernama Almira.
Sebab dia tahu, di hadapan Almira, sesungguhnya dialah si kuat. Dialah raksasanya. Dialah kekuasaan yang kebal dan sewenang-wenang. (*)